Entri Populer

Senin, 05 Desember 2011

Suatu Hari



http://asysyariah.com/images/logo.gif

Hukum Meninggalkan Shalat
Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Syariah, Seputar Hukum Islam, 30 - Agustus - 2007, 08:37:49

Telah kita ketahui kesepakatan ulama tentang kafirnya orang yang menentang kewajiban shalat. Namun, bagi yang meninggalkannya karena malas, terlebih lagi ia masih mengimani bahwa shalat itu amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan dan apakah ia dibunuh1 atau tidak.
Masalah hukum orang yang meninggalkan shalat ini memang merupakan masalah khilafiyyah sejak zaman dahulu di kalangan salaful ummah, dan perselisihannya teranggap (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah kita gegabah menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal ini, semisal kita mengatakannya Murji` (pengikut pemahaman Murji`ah, karena tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat) atau menvonisnya dengan Khariji (pengikut pemahaman Khawarij, karena mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat). Hukum asal dalam hal khilaf yang mu’tabar adalah seseorang tidak boleh mengingkari pendapat orang lain dan mencelanya. Mencela seseorang karena mengikuti pendapat ulama dari kalangan salaf (para imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama salaf tersebut. Karena itu sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita memboikot dan mencela saudara kita dalam permasalahan-permasalahan yang kita dapati para ulama kita juga berbeda pendapat di dalamnya. Memang masalah fiqih yang seperti ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat, dan mereka pun melapangkan bagi saudaranya selama permasalahan itu memang dibolehkan/ dilapangkan untuk berijtihad.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa permasalahan meninggalkan shalat ini termasuk permasalahan yang sangat besar yang pada hari ini banyak orang terjatuh di dalamnya (ditimpa musibah dengan tidak menunaikannya). Dan ulama beserta para imam dari kalangan umat ini, yang dahulu maupun sekarang, berselisih pendapat tentang hukumnya. (Mukaddimah kitab Hukmu Tarikish Shalah hal. 3)
Orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja berarti ia telah melakukan dosa yang teramat besar. Dosanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar daripada dosa membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh, atau dosa mengambil harta orang lain secara batil, atau dosa zina, mencuri dan minum khamr. Meninggalkan shalat berarti menghadapkan diri kepada hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemurkaan-Nya. Ia akan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala baik di dunia maupun di akhiratnya. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim rahimahullahu, hal. 7)
Tentang hukuman di akhirat bagi orang yang menyia-nyiakan shalat dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ
“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat….” (Al-Muddatstsir: 42-43)
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalatnya….” (Al-Ma’un: 4-5)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kerugian2.” (Maryam: 59)

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
1. Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dari kalangan Malikiyyah berpendapat kafir3 orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat. Pendapat ini dihikayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam bin ‘Uyainah radhiyallahu 'anhum. Sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berpendapat demikian4. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)
Mereka berargumen dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan harus terpenuhinya tiga syarat barulah seorang yang tadinya musyrik dibebaskan dari hukuman bunuh sebagai orang kafir yaitu bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Bila tiga syarat ini terpenuhi berarti ia telah menjadi seorang muslim yang terpelihara darahnya. Namun bila tidak, ia bukanlah seorang muslim. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak mau menunaikannya, berarti tidak memenuhi syarat untuk dibiarkan berjalan, yang berarti ia boleh dibunuh5.
Argumen mereka dari hadits adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)
Demikian pula hadits Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346, At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574 dan juga dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [Lihat Tharhut Tatsrib, 1/323]
Dalam dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan shalat” tanpa ada penyebutan “meninggalkan karena menentang kewajibannya”. Berarti ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum, baik bagi orang yang meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau pun tidak.



Seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullahu berkata:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ اْلأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang adanya sesuatu dari amalan-amalan yang bila ditinggalkan dapat mengkafirkan pelakunya kecuali amalan shalat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, demikian pula dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 562)
Abdullah menyebutkan bahwa para sahabat sepakat ‘orang yang meninggalkan shalat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban shalat’. Karena yang mengatakan shalat itu tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi semua orang. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Tharhut Tatsrib 1/323, Nailul Authar 2/403)
2. Sementara itu, dinukilkan pula pendapat mayoritas ulama yang memandang tidak atau belum kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja. Al-Imam Abdul Haq Al-Isybili rahimahullahu dalam kitabnya Ash Shalah wat Tahajjud (hal. 96) menyatakan, “Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah, baik ahli haditsnya maupun selain mereka, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja dalam keadaan ia mengimani kewajiban shalat dan mengakui/menetapkannya, tidaklah dikafirkan. Namun dia telah melakukan suatu perbuatan dosa yang amat besar. Adapun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara zhahir menyebutkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, demikian pula ucapan ‘Umar radhiyallahu 'anhu dan selainnya, mereka takwil sebagaimana mereka mentakwil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ...
“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman saat melakukan perbuatan zina tersebut.”6
Demikian pula hadits-hadits lain yang senada dengan ini. Adapun ahlul ilmi yang berpendapat dibunuhnya orang yang meninggalkan shalat, hanyalah memaksudkan ia dibunuh sebagai hukum had, bukan karena ia kafir. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Al-Imam Malik, Asy Syafi’i, dan selain keduanya.”
Al-Hafizh Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata, “Jumhur ahlul ilmi berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat bila memang ia tidak menentang kewajibannya. Ini merupakan pendapat para imam: Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad bin Hambal. Terhadap hadits-hadits yang shahih dalam masalah hukum meninggalkan shalat ini7, mereka menjawab dengan beberapa jawaban, di antaranya:
Pertama: Makna dari hadits-hadits tersebut adalah orang yang meninggalkan shalat pantas mendapatkan hukuman yang diberikan kepada orang kafir yaitu dibunuh.
Kedua: Vonis kafir yang ada dalam hadits-hadits tersebut diberlakukan kepada orang yang menganggap halal meninggalkan shalat tanpa udzur.
Ketiga: Meninggalkan shalat terkadang dapat mengantarkan pelakunya kepada kekafiran, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘perbuatan maksiat adalah pos kekafiran’.
Keempat: Perbuatan meninggalkan shalat adalah perbuatan orang-orang kafir.” (Tharhut Tatsrib, 1/324-325)
Dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dengan sesuatu8 (syirik) dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa`: 48)
Sementara tidak mengerjakan shalat bukan perbuatan syirik, namun salah satu perbuatan dosa besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan untuk diberikan pengampunan bagi siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.
Juga hadits-hadits yang banyak, di antaranya hadits ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شاَءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
“Shalat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut karena meremehkan keberadaannya maka ia mendapatkan janji dari sisi Allah untuk Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak mengerjakannya maka tidak ada baginya janji dari sisi Allah, jika Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika Allah menghendaki maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Dawud no. 1420 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ الْمَكْتُوْبَةُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا وَإِلاَّ قِيْلَ: انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كاَنَ لَهُ تَطَوُّعٌ أُكْمِلَتِ الْفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ اْلأَعْمَالِ الْمَفْرُوْضَةِ مِثْلُ ذَلِكَ
“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba nanti pada hari kiamat adalah shalat wajib. Jika ia sempurnakan shalat yang wajib tersebut maka sempurna amalannya, namun jika tidak dikatakanlah, ‘Lihatlah, apakah orang ini memiliki amalan tathawwu’ (shalat sunnah)?’ Bila ia memiliki amalan tathawwu’, disempurnakanlah shalat wajib yang dikerjakannya dengan shalat sunnahnya. Kemudian seluruh amalan yang difardhukan juga diperbuat semisal itu.” (HR. Ibnu Majah no. 1425 dan lainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah dan Al-Misykat no. 1330-1331)
Demikian pula hadits dalam Ash-Shahihain yang dibawakan oleh ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ عَمَلٍ
“Siapa yang mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, ‘Isa adalah hamba Allah, putra dari hamba perempuan Allah, kalimat-Nya yang Dia lontarkan kepada Maryam dan ruh ciptaan-Nya, dan surga itu benar adanya, neraka pun benar adanya’, maka orang yang bersaksi seperti ini akan Allah masukkan ke dalam surga apa pun amalannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 139)
Dalam satu riwayat Al-Imam Muslim (no. 141) dibawakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ النَّارَ
“Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka Allah haramkan neraka baginya.”
Selain itu, banyak didapatkan dalil yang menunjukkan tidak kekalnya seorang muslim yang masih memiliki iman walau sedikit di dalam neraka, bila ia telah mengucapkan syahadatain, seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berikut ini. Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ شَعِيْرَةً، ثُمَّ يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ بُرَّةً، ثُمَّ يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً
“Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya’ir (satu jenis gandum). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat burrah (satu jenis gandum juga). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat semut yang sangat kecil.” (HR. Al-Bukhari no. 44 dan Muslim no. 477)
Ulama yang berpandangan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat tidaklah kemudian membebaskan pelakunya dari hukuman atau meringan-ringankan hukumannya. Bahkan sebaliknya, hukuman berat dijatuhkan sebagaimana yang akan kita baca dalam keterangan berikut ini.
Ibnu Syihab Az-Zuhri, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ‘Ali dan Al-Muzani berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas, tidaklah divonis kafir, namun fasik. Ia harus ditahan atau dipenjara oleh pemerintah muslimin9 dan dipukul dengan pukulan yang keras sampai darahnya bercucuran. Hukuman ini terus ditimpakan padanya sampai ia mau bertaubat dan mengerjakan shalat atau sampai mati dalam penjara10. Hukuman bunuh tidak sampai dijatuhkan padanya kecuali bila ia menentang kewajiban shalat, karena ada hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal ditumpahkan darah seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja dan ia bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali salah satu dari tiga golongan, yaitu seseorang yang sudah/pernah menikah melakukan perbuatan zina, karena jiwa dibalas jiwa (seseorang membunuh orang lain maka balasannya ia diqishash/dibunuh juga), dan orang yang meninggalkan agamanya, berpisah dengan jamaahnya kaum muslimin.” (HR. Al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 4351) [Al-Majmu’ 3/19, Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7-8]
Dalam hadits di atas tidak disebutkan hukum bunuh untuk orang yang meninggalkan shalat. (Al-Minhaj, 2/257)
Madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa ada udzur, ia diminta bertaubat dari perbuatannya. Bila tidak mau bertaubat maka dibunuh11 dengan cara dipenggal dengan pedang menurut pendapat jumhur12. Namun hukuman bunuh ini dijatuhkan sebagai hukum had baginya bukan dibunuh karena kafir. Setelah meninggal, ia dikafani, dishalati, dan dikuburkan di pemakaman muslimin. (Al-Majmu’ 3/17, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)
Dari keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa (22/40-53) sehubungan dengan perkara shalat ini, tampak bahwa beliau membagi manusia menjadi empat macam:
• Orang yang menolak untuk mengerjakan shalat sampai ia dibunuh, sementara di hatinya sama sekali tidak ada pengakuan akan kewajiban shalat dan tidak ada keinginan untuk mengerjakannya. Orang ini kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.
• Orang yang terus-menerus meninggalkan shalat sampai meninggalnya, sama sekali ia tidak pernah sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia pun tidak mengakui kewajibannya maka orang ini pun kafir.
• Orang yang tidak menjaga shalat lima waktu, ini adalah keadaan kebanyakan manusia. Sekali waktu ia mengerjakan shalat, pada kali lain ia meninggalkannya. Orang yang keadaannya seperti ini berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki akan diadzab, kalau tidak maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya. Dalilnya adalah hadits ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan di atas.
• Kaum mukminin yang menjaga shalat mereka. Inilah yang mendapat janji untuk masuk surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari perbedaan pendapat yang ada, penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang menyatakan tidak kafir. Dan inilah pendapat yang menenangkan hati kami, wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata ketika menguatkan pendapat ini, “Terus-menerus kaum muslimin saling mewarisi dengan orang yang meninggalkan shalat (dari kalangan kerabat mereka). Seandainya orang yang meninggalkan shalat itu kafir dan tidak akan diampuni dosanya, tentu tidak boleh mewarisi dan tidak mewariskan harta kepada kerabatnya. Adapun jawaban argumen yang dibawakan oleh yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan hadits Jabir, hadits Buraidah dan riwayat Abdullah ibnu Syaqiq, adalah bahwa hadits-hadits tersebut dibawa maknanya kepada orang yang meninggalkan shalat akan menjadi serikat bagi orang kafir dalam sebagian hukum yang diberlakukan kepadanya, yaitu ia wajib/harus dibunuh. Dengan takwil ini terkumpullah nash-nash syariat dan kaidah-kaidah yang telah disebutkan.” (Al-Majmu’, 3/19)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan, “Aku berpandangan bahwa yang benar adalah pendapat jumhur. Adapun riwayat yang datang dari sahabat bukanlah nash yang memastikan bahwa yang mereka maksudkan dengan kufur adalah kufur yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka13.” (Ash-Shahihah, 1/174)
Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Abdullah ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ ibnul Jarrah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuyah, dan murid/ pengikut mereka berpandangan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh. Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah dibunuh sebagai seorang muslim yang menjalani hukum had sebagaimana dibunuhnya zina muhshan (orang yang sudah/pernah menikah lalu berzina), ataukah dibunuh karena kafir sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad dan zindiq. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7 dan 20)
2 فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas dengan kerugian. Qatadah berkata, “(Kelak mereka akan menjumpai) kejelekan.” Ibnu Mas’ud menafsirkannya dengan sebuah lembah di neraka Jahannam yang sangat dalam lagi sangat buruk makanannya. Adapula yang menafsirkannya dengan sebuah lembah di Jahannam yang berisi darah dan nanah. (Al-Mishbahul Munir fit Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 830-831)
3 Bila sampai vonis kafir dijatuhkan berarti diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir/murtad. Seperti tidak memperoleh warisan dari kerabatnya yang meninggal, bila sudah beristri (dan istrinya seorang muslimah) maka ia harus menceraikan istrinya, bila belum maka tidak boleh dinikahkan dengan wanita muslimah. Bila ia meninggal dunia, jenazahnya tidak boleh dimakamkan di pekuburan muslimin dan seterusnya.
4 Dan pendapat ini pula yang dipegangi oleh sebagian besar imam dakwah pada hari ini. Di antaranya Samahatusy Syaikh Ibn Baz, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah.
5 Ada dua riwayat dari Al-Imam Ahmad dalam masalah membunuh orang yang meninggalkan shalat ini.
Pertama: Ia dibunuh sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Sa’id bin Jubair, Amir Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Ayyub As-Sikhtiyani, Abdullah ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuyah, Abdul Malik bin Hubaib dari kalangan Malikiyyah, satu sisi dalam madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thahawi menghikayatkan dari Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri dan Abu Muhammad ibnu Hazm menghikayatkannya dari ‘Umar ibnul Khaththab, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah dan selain mereka dari kalangan shahabat.
Kedua: Dibunuh sebagai hukum had, bukan karena kafir. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Abu Abdillah ibnu Baththah memilih riwayat ini. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 20)
6 Yakni si pezina tidak mungkin melakukan perbuatan zina di kala imannya sempurna. Hanyalah ia jatuh ke dalam perbuatan nista tersebut karena imannya sedang lemah. Dengan demikian hadits ini bukanlah menunjukkan bahwa pezina itu tidak punya iman dalam arti keluar dari iman dan masuk ke dalam kekafiran, namun si pezina tetap seorang muslim dengan keimanan yang sekadar mensahkan keislamannya.
7 Seperti hadits Jabir dan hadits Buraidah.
8 Apabila si hamba meninggal dalam keadaan membawa dosa syirik, tidak sempat bertaubat dari kesyirikan. Adapun bila bertaubat dari dosa-dosanya maka:
إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا
“Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa.” (Az-Zumar: 53)
9 Yang harus selalu diingat, hukum had bukanlah ditegakkan oleh orang per orang atau suatu perkumpulan/organisasi perorangan, namun yang berwenang dalam penegakannya adalah wulatul umur, yaitu pemerintah kaum muslimin.
10 Dan ia mati tentunya bukan sebagai orang kafir tapi sebagai orang fasik, seorang mukmin yang mengerjakan dosa besar. Sehingga pengurusan jenazahnya tetap diselenggarakan oleh kaum muslimin sebagaimana penyelenggaraan jenazah orang Islam; ia dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan di pemakaman muslimin.
11 Berargumen dengan ayat:
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)
12 Berdalil dengan hadits:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ فِي كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ
“Sesungguhnya Allah menetapkan untuk berbuat ihsan (berbuat baik) dalam segala sesuatu, maka kalau kalian membunuh baikkanlah dalam cara membunuh.” (HR. Muslim no. 1955)
Sementara membunuh dengan memukulkan pedang ke leher (memenggal) merupakan sebaik-baik cara membunuh dan lebih cepat menghilangkan nyawa, sehingga tidak menyakitkan dan menyiksa orang yang dibunuh.
13 Karena ada yang namanya kufrun duna kufrin, yaitu amalnya merupakan amalan kekafiran namun pelakunya belum tentu dikafirkan.


Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

http://asysyariah.com/images/logo.gif

Tidak Ada Pacaran Islami
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sakinah, Niswah, 01 - Mei - 2008, 02:51:51

Menempelkan label Islami memang mudah. Namun ketika yang dilekati adalah hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya menjadi berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, mudahan-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)
‘Ala`uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi rahimahullahu yang masyhur dengan sebutan Al-Khazin menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di atas. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut”, karena kesyirikan dan maksiat tampaklah kekurangan hujan (kemarau) dan sedikitnya tanaman yang tumbuh di daratan, di lembah, di padang sahara yang tandus dan di tanah yang kosong. Kurangnya hujan ini selain berpengaruh pada daratan juga membawa pengaruh pada lautan, di mana hasil laut berupa mutiara menjadi berkurang. (Tafsir Al-Khazin, 3/393)
Kerusakan banyak terjadi di darat dan di laut, berupa rusak dan kurangnya penghidupan/pencaharian manusia, tertimpanya mereka dengan berbagai penyakit dan wabah serta perkara lainnya karena perbuatan-perbuatan rusak/jelek yang mereka lakukan. Semua itu ditimpakan kepada mereka agar mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membalas apa yang mereka perbuat. Diharapkan dengan semua itu mereka mau bertaubat dari perbuatan jelek mereka. Demikian kata Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 634.
Demikianlah, kerusakan dapat kita jumpai di mana-mana. Jangankan di kota besar, bahkan di pedesaan sekalipun. Belum lagi musibah yang terjadi hampir di seluruh negeri. Semua itu tidak lain penyebabnya karena dosa anak manusia.
Abul ‘Aliyah rahimahullahu berkata, “Siapa yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di muka bumi maka sungguh ia telah membuat kerusakan di bumi. Karena kebaikan di bumi dan di langit diperoleh dengan ketaatan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/179)
Pergaulan anak muda yang rusak merupakan salah satu penyebab kerusakan tersebut. Hubungan pra nikah dianggap sah. Pacaran boleh-boleh saja, bahkan dianggap suatu kewajaran dan tanda kewajaran anak muda.
Di lembar ini, bukan hubungan mereka (baca: yang awam) yang ingin kita bicarakan, karena telah demikian jelas penyimpangan dan kerusakannya! Para pemuda pemudi yang katanya punya ghirah terhadap Islam, yang aktif dalam organisasi Islam, training-training pembinaan keimanan dan kegiatan-kegiatan Islami lah yang hendak kita tuju. Mungkin karena kedangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam atau terlalu mendominasinya hawa nafsu, mereka memunculkan istilah “pacaran Islami” dalam pergaulan mereka. Bagaimana pacaran Islami yang mereka maukan? Jelas karena diberi embel-embel Islam, mereka hendak berbeda dengan pacaran orang awam/jahil. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegang-pegangan, tidak ada kata-kata kotor dan keji. Masing-masing menjaga diri. Kalaupun saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang Islam, tentang dakwah, tentang umat, saling mengingatkan untuk beramal, berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengingatkan negeri akhirat, tentang surga dan neraka. Begitu katanya!
Pacaran yang dilakukan hanyalah sebagai tahap penjajakan. Kalau cocok, diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Kalau tidak, diakhiri dengan cara baik-baik. Dulu penulis pernah mendengar ucapan salah seorang aktivis mereka dalam suatu kajian keIslaman untuk mengalihkan anak-anak muda Islam dari merayakan Valentine Day, “Daripada pemuda Islam, ikhwan sekalian, pacaran dengan wanita-wanita di luar, yang tidak berjilbab, tidak shalihah, lebih baik berpasangan dengan seorang muslimah yang shalihah.”
Darimanakah mereka mendapatkan pembenaran atas perbuatan mereka? Benarkah mereka telah menjaga diri dari perkara yang haram atau malah mereka terjerembab ke dalamnya dengan sadar ataupun tidak? Ya, setanlah yang menghias-hiasi kebatilan perbuatan mereka sehingga tampak sebagai kebenaran. Mereka memang –katanya– tidak bersentuhan, tidak pegangan tangan, tidak ini dan tidak itu… Sehingga jauh dan jauh mereka dari keinginan berbuat nista (baca: zina), sebagaimana pacarannya para pemuda-pemudi awam/jahil yang pada akhirnya menyeret mereka untuk berzina dengan pasangannya. Na’udzubillah!!! Namun tahukah mereka (anak-anak muda yang katanya punya kecintaan kepada Islam ini) bahwa hati mereka tidaklah selamat, hati mereka telah terjerat dalam fitnah dan hati mereka telah berzina? Demikian pula mata mereka, telinga mereka?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina1. Dia akan mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka, zinanya mata adalah dengan memandang (yang haram) dan zinanya lisan adalah dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina, dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina, dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina, dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara, hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Makna dari hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Maka di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (untuk dimasuki karena bukan pasangan hidupnya yang sah, pent.). Dan di antara mereka ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau untuk melihat zina, atau untuk menyentuh wanita non mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita non mahram dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya. Maknanya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya, dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram, sekalipun dekat dengannya.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/206)
Dengan pacaran yang mereka beri embel-embel Islam, adakah mereka dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram? Sementara memandang wanita ajnabiyyah (non mahram) atau laki-laki ajnabi termasuk perbuatan yang diharamkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Tidakkah mereka tahu bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Di samping itu, dengan pacaran “Islami” ala mereka, mereka tentu tidak akan lepas dari yang namanya khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya hijab/tabir penghalang).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata, “Wanita adalah fitnah, sehingga laki-laki ajnabi dilarang bersepi-sepi dengannya. Karena jiwa-jiwa manusia diciptakan punya kecenderungan/syahwat terhadap wanita, dan setan akan menguasai mereka dengan perantaraan para wanita.”
Beliau juga mengatakan bahwa wanita adalah aurat yang sangat urgen untuk dijaga dan dipelihara. Dan mahramnya sebagai orang yang memiliki kecemburuan terhadapnyalah yang akan melindungi dan menjaganya. (Al-Ikmal, 4/448)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Adapun bila seorang laki-laki ajnabi berdua-duaan dengan wanita ajnabiyah tanpa ada orang ketiga bersama keduanya, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama. Demikian pula bila bersama keduanya hanya ada seseorang yang biasanya orang tidak sungkan/tidak merasa malu berbuat sesuatu di hadapannya karena usianya yang masih kecil, seperti anak laki-laki yang baru berumur dua atau tiga tahun dan yang semisalnya. Karena keberadaan orang seperti ini sama saja seperti tidak adanya.” (Al-Minhaj, 9/113)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1171, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Karena bahayanya fitnah wanita dan bersepi-sepi dengan wanita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai memperingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah seseorang dari kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)
Ipar di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-lakinya. Makna “Ipar adalah maut”, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, bahwa kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya. Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (Al-Minhaj, 14/ 378)
Ketika Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ditanya tentang hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan yang terjalin sebelum zawaj, beliau menjawab, “Bila yang dimaukan penanya, sebelum zawaj adalah sebelum dukhul (jima’) setelah dilangsungkannya akad nikah, maka tidak ada dosa tentunya. Karena dengan adanya akad berarti si wanita telah menjadi istrinya walaupun belum dukhul. Namun bila yang dimaksud sebelum zawaj adalah sebelum akad nikah, baru pelamaran atau belum sama sekali, maka yang ini haram. Tidak boleh dilakukan. Tidak diperkenankan seorang lelaki bernikmat-nikmat dengan seorang wanita ajnabiyah, baik dalam ucapan, pandangan, maupun khalwat.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)
Seorang laki-laki yang telah resmi melamar seorang wanita sekalipun, ia tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterimanya pinangannya tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat, bebas telepon, bebas sms, bebas chatting, ngobrol apa saja. Karena hubungan keduanya belum resmi, si wanita masih tetap ajnabiyah baginya. Lalu apatah lagi orang yang baru sekadar pacaran belum ada peminangan, walaupun diembel-embeli kata Islami?
Ada seorang lelaki meminang seorang wanita. Di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita, namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang hal ini, beliau menjawab, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena perasaan si lelaki bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah sesuatu yang haram. Dan sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, haram pula hukumnya.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, 2/748)
Permasalahan senada ditanya kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, hanya saja pembicaraan si lelaki dengan si wanita yang telah dipinangnya tidak secara langsung namun lewat telepon. Beliau pun memberikan jawaban, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita, maka itu lebih baik dan lebih jauh dari keraguan/fitnah.
Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung lamaran di antara mereka, namun hanya bertujuan untuk saling mengenal –sebagaimana yang mereka istilahkan– maka ini mungkar, haram. Bisa mengarah kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan, dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).
Ulama telah menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram melakukan talbiyah tanpa mengeraskan suaranya. Dan di dalam hadits disebutkan:
إِذَا أَتَاكُمْ شَيْءٌ فِي صَلاَتِكُمْ، فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتَصْفِقِ النِّسَاءُ
“Apabila datang pada kalian sesuatu dalam shalat kalian, maka laki-laki hendaklah bertasbih dan wanita hendaknya memukul tangannya.”
Hadits di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak semestinya memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, kecuali dalam keadaan-keadaan yang dibutuhkan sehingga ia terpaksa berbicara dengan laki-laki dengan disertai rasa malu. Wallahu a’lam.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/163,164)
Kita baru menyinggung pembicaraan via telepon ataupun secara langsung. Lalu bagaimana bila pemuda-pemudi berhubungan lewat surat?
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Fatawa Al-Mar`ah (hal. 58) ditanya, “Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat dengan seorang wanita ajnabiyah, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh cinta, apakah perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab, “Perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan syahwat di antara dua insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya untuk saling bertemu dan terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat seperti itu menimbulkan fitnah dan menumbuhkan kecintaan kepada zina di dalam hati. Di mana hal ini termasuk perkara yang menjatuhkan seorang hamba ke dalam perbuatan keji, atau menjadi sebab yang mengantarkan kepada perbuatan nista. Karenanya, kami memberikan nasihat kepada orang yang ingin memperbaiki dan menjaga jiwanya agar tidak melakukan surat-menyurat yang seperti itu dan menjaga diri dari pembicaraan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga agama dan kehormatannya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufik.”
Bila ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka jauh dari kata-kata keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di dalamnya, apatah lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu, “Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun dia, untuk surat-menyurat dengan wanita ajnabiyah. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah. Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian menyangka bahwa tidak ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus menerus menyertainya, hingga membuatnya terpikat dengan si wanita dan si wanita terpikat dengannya.”
Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Dalam surat-menyurat antara pemuda dan pemudi ada fitnah dan bahaya yang besar, sehingga wajib untuk menjauh dari perbuatan tersebut, walaupun penanya mengatakan dalam surat menyurat tersebut tidak ada kata-kata keji dan rayuan cinta.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, 2/898)
Demikianlah… Lalu, masihkah ada orang-orang yang memakai label Islam untuk membenarkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran?
Wallahul musta’an.

1 Yakni yang namanya zina itu tidak hanya diistilahkan dengan apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)
http://www.asysyariah.com/images/logo.gif

Syubhat-Syubhat Seputar Takfir
Penulis: Al-Ustadz Qomar Suadi, Lc.
Syariah, Kajian Utama, 07 - Agustus - 2004, 00:57:50

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

"Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya: 'Wahai orang kafir,' maka (hukum) tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim…)

Berbicara tentang fitnah takfir (perbuatan kafir mengkafirkan), maka sungguh ini adalah satu hal yang sangat membutuhkan perhatian dan kehati-hatian karena perkara ini -sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abil 'Izz- adalah pintu yang memiliki fitnah dan cobaan yang besar, di dalamnya terdapat perpecahan dan perselisihan pendapat, serta adanya hawa nafsu manusia yang ikut terlibat dan dalil-dalil yang mereka (gunakan) padanya saling bertabrakan… sehingga manusia terbagi padanya menjadi dua kelompok, masing-masing berada di ujung (yang saling bertentangan) dan satu kelompok berada di tengah-tengah. (Syarah Al-'Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 316)
Dua kelompok yang dimaksud adalah kelompok yang (memiliki sikap) saling bertolak belakang. Satu kelompok tidak mau mengkafirkan siapapun dari ahlul qiblah (kaum muslimin) dan kelompok lain (sangat mudah) mengkafirkan seseorang dengan sebab dosa apapun (besar atau kecil).
Kelompok pertama berhaluan tafrith (meremehkan dosa) dan yang lain berhaluan ifrath (berlebihan dalam menyikapi orang yang berbuat dosa). Adapun kelompok yang di tengah adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Yang akan menjadi titik pembahasan kita dalam tulisan ini adalah kelompok yang berhaluan ifrath, untuk kita ketahui syubhat mereka lalu kita membantahnya.
Kelompok yang memiliki sikap berlebihan dalam menyikapi orang yang berbuat dosa ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Khawarij dan Mu’tazilah , dan sikap ini memang merupakan salah satu ciri khas mereka yakni menganggap kafir pelaku dosa besar. (Syarah Al-'Aqidah Ath-Thawiyah, hal. 321)
Sehingga peminum khamr, pencuri, orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dan sebagainya menurut mereka adalah kafir secara mutlak, tanpa ada perincian atau perbedaan antara yang melakukan perbuatan tersebut dengan meyakini bahwa hal itu adalah halal dengan orang yang tetap meyakini bahwa perbuatan tersebut adalah haram.
Tentu pandangan semacam ini bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karenanya kita perlu mengkritik pendapat mereka melalui dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih serta kaidah-kaidah yang sudah mapan dalam aqidah Ahlus Sunnah.


Asal Usul Kesesatan Mereka

Asal-usul kesesatan mereka bermula dari kesalahan dalam memahami makna iman. Dalam pengertian yang benar, iman adalah keyakinan dengan qalbu dan pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. (Lihat Majalah Asy-Syariah edisi…)
Khawarij dan Mu’tazilah juga berpendapat sama, namun ada sisi perbedaan yang sangat tipis dengan Ahlus Sunnah, yang perlu untuk dicermati dengan penuh perhatian. Perbedaan itu adalah, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa -secara global- amal anggota badan itu adalah syarat kesempurnaan iman, sedangkan Khawarij dan Mu’tazilah mengatakan bahwa amal anggota badan adalah syarat sahnya iman. (Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu, hal. 26)
Khawarij dan Mu’tazilah memiliki pandangan bahwa iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi dan tidak bisa terpisahkan. Artinya, jika iman hilang sebagian maka hilang semuanya dan tidak sah imannya.
Atas dasar dua hal di atas -menurut mereka- jika ada yang melakukan dosa besar berarti terdapat kekurangan pada amal anggota badan dan dengan kekurangan itu berarti semua imannya hilang karena iman itu (menurut mereka) jika hilang sebagian maka hilang semuanya. Karena, masih menurut mereka, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
Dalam menjelaskan madzhab mereka itu, Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah megatakan: Kami telah mengetahui dengan yakin bahwa amal itu termasuk iman. Barangsiapa yang meninggalkannya berarti telah meninggalkan sebagian iman dan jika sebagian iman itu hilang maka (imannya) hilang semua. Karena iman tidak terbagi-bagi dan tidak terjadi pada seorang hamba itu ada keimanan dan ada sifat kemunafikan, sehingga para pelaku dosa itu kekal di neraka di mana tidak ada bersama mereka iman sedikitpun.” (Al-Fatawa, 13/48)
Mengapa mereka berpandangan demikian? Apakah mereka mendasari kaidah mereka itu dengan dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah atau semata dari rasio dan akal mereka?
Ternyata sumber kaidah mereka adalah akal, sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah, “Kesimpulan syubhat mereka dalam permasalahan ini adalah bahwa -menurut mereka- hakikat sesuatu yang tersusun dari beberapa bagian itu akan sirna dengan hilangnya salah satu (yang menjadi) bagiannya, seperti angka sepuluh jika hilang sebagiannya maka tidak lagi sepuluh. Demikian pula (misalnya, minuman) sakanjabin , jika hilang salah satu dari dua unsurnya maka ia tidak lagi disebut sakanjabin. Mereka mengatakan, demikian pula iman yang tersusun antara ucapan dan perbuatan yang lahir maupun batin, akan hilang dengan hilangnya sebagian (dari unsurnya).” (Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu, hal. 349)
Demikian mereka memahami agama dengan bersumber dari rasio murahan dan tidak merasa cukup dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta pemahaman para shahabatnya.
Kita akan nukilkan jawaban para ulama terhadap syubhat mereka sebagai berikut:
1. Tidak mesti sesuatu yang tersusun dari beberapa bagian jika hilang sebagiannya berarti hilang semua. Tidakkah kita melihat pohon jika hilang sebagian tangkainya tetap dinamakan pohon?! Tidakkah kita melihat rumah jika hilang sebagian pintunya tetap dinamakan rumah?! Demikian pula amal ibadah dalam Islam seperti shalat dan haji misalnya, jika hilang sunnah-sunnahnya apakah tidak lagi dinamakan shalat dan haji?! Pikirkan wahai orang yang berakal!
2. Pendapat mereka itu bertentangan dengan nash-nash wahyu yang menunjukkan bahwa iman itu terbagi-bagi, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ

“Iman itu memiliki tujuhpuluh atau enampuluh sekian cabang, yang paling tinggi adalah ucapan La Ilaha Illallah dan yang paling rendahya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan dan malu itu salah satu cabang dari iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Yang benar adalah, ketika sebagian iman seseorang hilang, kita mesti melihat, apakah yang hilang itu merupakan syarat sahnya iman sehingga ketika hilang maka iman pun hilang (semua). Seperti hilangnya keimanan kepada para rasul atau hilangnya keyakinan terhadap sesuatu yang haram yang sangat jelas keharamannya sehingga ia menganggapnya halal sementara dia tahu dengan yakin bahwa itu haram. Atau yang hilang itu sesuatu yang bukan merupakan syarat sahnya iman, sehingga ketika hilang maka iman itu tidak ikut hilang dan tetap ada walaupun berkurang. Contohnya adalah orang yang melakukan perbuatan dosa. Dengan melakukan perbuatan dosa maka orang tersebut berkurang sebagian imannya, namun tidak hilang seluruhnya. Seperti dosa membunuh, Allah menyatakan:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya." (Al-Hujurat: 9)
Allah masih menyebut mereka sebagai dua kelompok dari kaum mukminin, bukan dari kaum kafirin.
4. Jadi dimungkinkan terkumpul pada seorang hamba sifat iman sekaligus sifat kemunafikan atau kekafiran, namun kekafiran dan kemunafikan yang kecil. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebut pembunuhan sebagai kekafiran sebagaimana dalam hadits:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR…)
Kekafiran yang dimaksud adalah kekafiran kecil karena Allah masih menyebut mereka mukmin sebagaimana dalam Surat Al-Hujurat di atas. Jadi, seseorang yang melakukan pembunuhan, dia adalah seorang mukmin yang memiliki kekafiran kecil dan imannya sangat lemah. (Lihat secara rinci Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu, hal. 348-359)
Dengan itu jelaslah kebatilan madzhab mereka.
Yang perlu dicermati pula adalah, demi menguatkan madzhabnya, mereka menggunakan beberapa ayat atau hadits yang mereka fahami sesuai kaidah mereka dan meninggalkan dalil-dalil lain yang menjelaskannya. Saya akan sebutkan sebagiannya sebagai contoh:
1. Firman Allah:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيْمًا
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya." (An-Nisa: 93)
Bantahannya:
Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil bagi orang-orang Khawarij maupun Mu’tazilah karena di dalamnya tidak menunjukkan bahwa orang yang berdosa karena membunuh berarti kafir. Karena:
– Allah masih menyebut orang-orang yang saling berperang di antara mereka dengan sebutan mukminin sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Hujurat.
– Dalam Surat Al-Baqarah ayat 178 disebutkan: “…barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya.” Persaudaraan yang dimaksud dalam ayat ini adalah persaudaraan dalam iman. Berarti baik pihak yang dibunuh atau yang membunuh masih disebut mukmin. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan dalam Tafsir-nya: “Kata 'akhihi' (saudaranya) merupakan dalil bahwa seorang pembunuh tidak menjadi kafir, karena yang dimaksud dengan persaudaraan di sini adalah persaudaraan iman.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 84)
– Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hukuman bagi seorang yang sengaja melakukan pembunuhan dengan hukuman yang bertingkat sebagaimana diterangkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 178-179. Hukuman pertama adalah dengan qishash, yakni dibalas (dihukum) dengan dibunuh. Jika keluarga pihak yang terbunuh memaafkan dari hukuman pertama, maka turun kepada hukuman kedua yaitu membayar diyat berupa seratus ekor unta. Kalau dimaafkan lagi maka dia dibebaskan dari di-qishash ataupun membayar diyat. Ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak kafir dengan dosa membunuh itu. Seandainya kafir maka hukumannya hanya satu yaitu dibunuh karena murtad. Kalaupun orang tersebut dihukum qishash (dibunuh), hukuman ini pun bukan disebabkan dia murtad.
– Makna ayat di atas menurut penafsiran yang paling benar adalah sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh As-Sa’di yang menukil perkataan Ibnul Qayyim: “Para imam telah berselisih pendapat dalam menafsirinya, (namun) mereka sepakat tentang batilnya pendapat orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah yang menganggap seorang pembunuh kekal di neraka walaupun mereka bertauhid. Yang benar dalam menafsirinya (bahwa) nash-nash ini dan yang sejenisnya yang di dalamnya menyebutkan keharusan adanya sebuah hukuman, (bahwa) tidak selalu adanya sebuah sebab hukuman menunjukkan adanya hukuman tersebut. Karena sebuah hukuman baru akan ada (terjadi) jika sebabnya ada dan tidak ada yang menghalanginya. Maksimal yang ada dalam ayat ini adalah pemberitahuan bahwa ini adalah menyebabkan sebuah hukuman dan mengharuskannya. Tapi telah ada dalil yang menyebutkan adanya hal yang menghalangi terlaksananya hukum tersebut. Dan dalil itu sebagian berupa ijma’ dan sebagian yang lain adalah nash. Taubat (misalnya), berdasarkan ijma' bisa menghalangi (terlaksananya hukuman tersebut). Tauhid, (terdapat dalam) nash bisa menghalangi terlaksananya hukum juga…” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 194)

2. Firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44)
Menurut mereka bahwa kakafiran yang dimaksud di sini adalah kufur akbar yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Bantahannya:
- Ayat ini tidak seperti yang mereka pahami. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kufur kecil, yaitu amal kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keislaman. Yang menafsirkan demikian adalah imam para ahli tafsir yaitu Abdullah bin 'Abbas yang telah didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam untuk diajari tafsir Al-Qur'an. Tafsiran beliau tentang ayat tersebut diikuti oleh para muridnya, dan begitu seterusnya generasi demi generasi para ulama tafsir Ahlus Sunnah selalu mengikuti beliau seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, Asy-Syinqithi, As-Sa’di, Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin dan lainnya. Di antara ucapan Ibnu 'Abbas adalah: “Sesungguhnya perbuatan itu bukan kekafiran seperti yang mereka pahami. Itu bukan kekafian yang mengeluarkan dari agama, (tapi) kekafiran di bawah kekafiran (yang besar).” (Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan beliau menshahihkannya sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim, Ash-Shahihah, jilid 6 bagian 1 hal. 113)
- Yang menafsirkan bahwa perbuatan tersebut adalah kufur besar adalah orang-orang Khawarij. Al-Jashshash mengatakan: “Orang-orang Khawarij menafsiri ayat ini untuk mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan walaupun tidak mengingkarinya (yakni di dalam hati orang itu masih meyakini akan kewajiban berhukum dengan hukum Allah).” (Ahkamul Qur'an, 2/534)
- Seseorang baru dikatakan terjerumus dalam kufur besar dengan sebab berhukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan sebagai berikut: Pertama, meyakini bahwa hukum selain hukum Allah lebih baik dari hukum Allah. Kedua, meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah adalah dibolehkan dan (menganggap) sama dengan hukum Allah. Ketiga, meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah adalah boleh meskipun (menganggap) hukum Islam lebih baik. (Lihat Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz, dinukil dalam Fiqh Siyasah Asy-Syar'iyyah hal. 91)
- Berbagai upaya dilakukan untuk menolak tafsir Ibnu 'Abbas ini, seperti dengan menganggapnya lemah. Namun itu telah terbantah. Ada pula yang mennyelewengkan tafsir tersebut dengan mengatakan bahwa tafsir itu berlaku jika seorang penguasa berhukum dengan selain hukum Allah pada satu atau dua masalah saja. Adapun yang menjadikan hukum produk manusia sebagai dasar hukum negaranya maka tidak berlaku tafsirnya Ibnu Abbas. Ada pula yang mengatakan yang semakna dengannya, bahwa tafsir itu berlaku pada seorang penguasa yang berada dalam koridor negara Islam, kalau tidak maka tafsir itu tidak berlaku.
Bantahannya, pendapat itu salah dan banyak hal yang menunjukan kesalahannya. Namun, satu hal yang mungkin sebagai pemangkas syubhat tersebut adalah, bahwa Najasyi adalah seorang penguasa atau raja di Habasyah (Ethiopia), waktu itu ia telah masuk Islam namun tidak berhukum dengan hukum Allah karena keadaan tertentu. Apakah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganggapnya kafir?? Tidak! Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukan shalat ghaib ketika Najasyi meninggal. Apakah Najasyi hidup di negara Islam?? Apakah Najasyi tidak berhukum dengan hukum Allah pada satu dua perkara saja?? Tentu jawabnya tidak. Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang melihat!

3. Firman Allah:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ
"Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan ada yang beriman." (At-Taghabun: 2)
Ayat ini menurut mereka hanya menyebutkan dua golongan manusia yaitu mukmin dan kafir, maka yang tidak beriman adalah kafir. Bantahannya, bahwa penyebutan dua golongan dalam ayat ini tidak berarti di sana ada golongan lain seperti golongan fasiq, dan itu banyak sekali disebut oleh Allah dalam Al-Qur'an. Demikian pula ayat tersebut berbicara tentang sebagian manusia, ada yang kafir dan ada yang mukmin sehingga bukan alasan sama sekali bagi orang Khawarij untuk mengatakan (berdasar ayat ini) pelaku dosa besar adalah kafir.
4. Hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah sorang pezina melakukan zina ketika melakukannya ia sebagai mukmin, tidaklah seorang pemabuk meminum khamr ketika meminumnya ia sebagai seorang mukmin dan tidaklah seorang pencuri mencuri ketika melakukannya ia sebagai seorang mukmin…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Mereka memahami hadits ini bahwa maksud peniadaan iman di sini adalah secara total yang berarti dia kafir.
Bantahannya, pemahaman demikian salah dan pemahaman yang benar bahwa peniadaan iman dalam hadits ini adalah peniadaan kesempurnaannya. Yakni para pelaku dosa tersebut imannya berkurang atau tipis dan bukan berarti kafir. Mengapa dipahami demikian? Karena Allah telah memberikan hukum had berupa rajam atau cambuk dan diasingkan selama satu tahun bagi pelaku zina sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nur ayat 2 (???) dan dalam hadits Nabi…
Demikian pula Allah tetapkan hukuman bagi pencuri dengan potong tangan sebagaimana dalam Surat Al-Maidah ayat 38. Seandainya mereka kafir tentu bukan itu hukumannya tapi dibunuh, sebagaimana sabda Nabi, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Dipertegas lagi dengan hadits Nabi yang lain bahwa beliau bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengatakan Laa Ilaha illallah lalu mati di atas kalimat itu maka ia akan masuk surga.” Abu Dzar mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri?” Nabi mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri.” Abu Dzar mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri?” Nabi mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri.” Sampai ia katakan tiga kali dan yang keempat kalinya Nabi mengatakan: “Walaupun Abu Dzar tidak suka.” Kemudian Abu Dzar keluar dan mengatakan: “Walaupun Abu Dzar tidak suka.” (HR Muslim no. 269 cet. Darul Ma’rifah)
Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Ijma’ para pemegang kebenaran bahwa pezina, pencuri dan pembunuh serta selainnya dari para pelaku doa besar selain syirik, mereka tidak dikafirkan dengan sebab perbuatannya. Mereka tetap sebagai mukmin yang kurang imannya. Kalau mereka bertaubat maka gugurlah hukuman mereka. Kalau mereka tetap bermaksiat maka mereka di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak Allah akan ampuni, jika Allah berkehendak maka akan hukum mereka.” (Syarah Shahih Muslim jilid. 1 hal. 230. Lihat pula Syarah Al-'Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 321 takhrij Al-Albani)
Demikian beberapa syubhat orang-orang Khawarij dan jawabannya, yang intinya bahwa pelaku dosa besar selain syirik dan selain kufur akbar menurut Ahlus Sunnah tidak dikafirkan hanya dengan sebab melakukannya. Kecuali jika ia menganggap perbuatannya halal, maka ketika itu ia dianggap kafir. (Lihat Al-'Aqidah Ath-Thahawiyah no.…)
Kaidah ini berdasarkan pada ayat dan hadits yang banyak sekali. Dengan itu maka syubhat apapun dari Khawarij atau Mu’tazilah bisa kita bantah dengan kaidah tersebut.
Setelah kita tahu seluk beluk Khawarij dan Mu’tazilah dalam hal takfir di masa lalu, maka kalau kita bandingkan dengan para ahli takfir di masa kini, sungguh ahli takfir di masa ini lebih tidak ilmiah. Kita banyak dapati para ahli takfir masa ini dalam praktek mereka hanya mengambil kaidah “matang” dari Khawarij dan Mu’tazilah yaitu bahwa yang melakukan dosa besar berarti kafir. Tanpa peduli dari mana munculnya kaidah ini atau karena tidak memahami dengan baik aqidah Ahlus Sunnah.
Sehingga kadang kita dapati seseorang berpandangan persis seperti Ahlus Sunnah dan tahu pendapat Khawarij dalam masalah iman bahkan mungkin membantahnya atau mengatakan dengan tegas bahwa pelaku dosa besar tidak kafir. Demikan lisan mereka bicara namun dalam beberapa prakteknya mereka tidak konsekuen.
Karena itu metodologi mereka lebih cocok kalau disebut “asywa'i” alias asal comot. Atau seperti dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dengan menyebut Kharijiyyatun 'Ashriyyah, Khawarij Masa Kini. Mengapa beliau menyebut demikian? Karena -wallahu a’lam- kalau Khawarij dulu konsekuen dengan kaidah mereka bahwa semua pelaku dosa besar adalah kafir dan mereka menerapkan kaidah tersebut sesuai dengan keumumannya. Tapi kalau ahli takfir masa kini, untuk mengkafirkan seseorang mereka “pilih-pilih” dosa yang dilakukan. Sehingga –misalnya– mereka mengkafirkan penguasa hanya karena tidak berhukum dengan hukum Allah, tapi para pelaku dosa besar yang lain tidak mereka kafirkan.
Untuk melihat kebenaran apa yang diungkapkan di atas kita akan nukilkan sebagian ucapan mereka yang terdiri dari para da'i, pemikir, atau tokoh ternama, namun sayang orang-orang tidak tahu penyimpangan mereka. Semoga dengan mengetahui pemikiran mereka kita punya bashirah sehingga mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Perlu diketahui bahwa cara takfir mereka yang bermacam-macam menunjukan manhaj asywa’i mereka.


Takfir ala Sayyid Quthub

Dia mengatakan dalam menafsiri Surat An-Nisa ayat 60-65:
“Kita mendapati persaksian dari Allah tentang tidak adanya keimanan pada orang-orang yang ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah disuruh untuk mengkufurinya, sebagaimana sumpah dari Allah dengan Dzat-Nya Yang Maha Tinggi bahwa mereka tidak masuk dalam iman, dan tidak dianggap sebagai orang beriman sampai menjadikan Rasul sebagai hakim dalam keputusan-keputusan mereka, kemudian menaati hukumnya dan merealisasikannya.” (Fii Zhilalil Qur'an, 2/693, dinukil dari kitab Al-Hukmu Bighairi ma Anzalallah, hal. 154)
Kritik:
Demikian Sayid Quthub mengkafirkan secara mutlak orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Padahal dari penjelasan yang lalu bukankah ini pendapat Khawarij seperti yang dikatakan Al-Jashshash?? Ahlus Sunnah tidak berpendapat demikian, namun Ahlus Sunnah punya perincian sebagaimana penjelasan di atas. Cukup dengan menyelisihi pendapat Ahlus Sunnah sudah menunjukan kebatilannya, apalagi bila ditinjau dari sisi-sisi lain. (Lihat secara rinci dalam kitab Al-Hukmu Bighairi ma Anzalallah hal. 154-158]
Bertolak dari penyimpangan tersebut maka ia beranggapan bahwa masyarakat muslimin telah murtad. Ia mengatakan: "…sesungguhnya manusia telah kembali kepada masa jahiliyyah dan murtad dari Laa Ilaha Illallah sehingga mereka memberikan kepada (sesama) manusia (hak) khusus ketuhanan dan belum kembali mentauhidkan Allah dan memurnikan loyalitas kepada-Nya… Manusia secara keseluruhan, termasuk di dalamnya orang-orang yang mengulang-ulang kalimat Laa Ilaha llallah di atas tempat adzan, di belahan bumi timur maupun barat, tanpa ada makna dan realita… Mereka lebih berat dosa dan adzabnya di hari kiamat karena mereka murtad menuju peribadatan kepada para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan setelah sebelumnya mereka dalam agama Allah." (Zhilalul Qur'an, 2/1057 dinukil dari Adhwa Islamiyyah hal. 92)
Demikian ia menghukumi masyarakat muslimin di belahan bumi bagian timur maupun barat dengan kemurtadan hanya karena anggapannya bahwa mereka tidak berhukum dengan hukum Allah. Sungguh batil apa yang ia ucapkan. Pemikirannya timbul karena melencengnya dia dari aqidah Ahlus Sunnah dalam masalah ini.


Takfir ala Salman Al-'Audah dan Safar Hawali

Salman Al-Audah mengatakan dalam kasetnya yang berjudul Jalsatun 'ala Rashif tentang seorang penyanyi yang terang-terangan dengan kefasikannya: “Allah tidak akan mengampuninya! Kecuali ia bertaubat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi bahwa ia (yang terang-terangan dengan kemaksiatannya) tidak (yu’afa) diberi ampun! (“Semua umatku mu'afa/diberi ampun.”) Karena mereka murtad dengan perbuatannya ini!!...Ini adalah kemurtadan dari Islam!! Ini kekal -wal 'iyadzu billah- di neraka jahannam kecuali bertaubat.” (Dinukil dari Madarikun Nazhar, hal. 117)
Bantahan:
Bukankah ini manhaj Khawarij yang mengkafirkan seseorang dengan sebab dosa besar? Orang yang berdosa besar lalu meninggal dalam keadaan belum bertaubat, menurut Ahlus Sunnah, di akhirat tergantung kehendak Allah. Jika Allah berkehendak maka ia akan diampuni dan tidak dihukum, jika tidak maka ia akan diadzab dan pada akhirnya keluar dari neraka jika dia masih punya tauhid. (Lihat Surat An-Nisa: …)
Sebagai perbandingan, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa seseorang mengatakan kepada saudaranya: “Demi Allah! Allah tidak akan mengampuni Fulan.” Maka Allah mengatakan: “Siapakah yang bersumpah atas nama diriku bahwa aku tidak mengampuni fulan? Sungguh aku telah mengampuni fulan dan menggugurkan amalmu…” (HR. Muslim…)

Safar Al-Hawali mengatakan tentang sebuah hotel yang terang-terangan menyediakan minuman keras, video serta gambar (film) tarian bugil, dan bercampurnya antara laki-laki dan perempuan: “Kami berlindung kepada Allah dari perbuatan ini karena ini (berarti) menghalalkan apa yang Allah haramkan, tidak diragukan lagi bahwa itu adalah kekafiran yang nyata.” (Kaset Pelajaran Al-'Aqidah Ath-Thahawiyah: 2/272)
Bantahan:
Ya, memang itu kemaksiatan besar. Namun apakah dengan itu lantas seseorang dikafirkan? Hanya orang Khawarij yang mengkafirkan orang tersebut. Kalau sekedar melakukan sebuah maksiat, tidak berarti pelakunya menghalalkan atau menganggapnya halal. Bila tidak demikian maka semua yang melakukan maksiat berarti menghalalkan perbuatannya yang berarti ia telah kafir. Inilah aqidah Khawarij.
Menghalalkan kemaksiatan yang berakibat kekafiran maksudnya adalah meyakini halalnya maksiat tersebut dan meyakini bahwa Allah tidak mengharamkannya. Tidak cukup sekedar melakukannya. (Lihat Ash-Sharimul Maslul, hal. 521 karya Ibnu Taimiyyah)
http://asysyariah.com/images/logo.gif

Ikhtilat Antara Lawan Jenis
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sakinah, Niswah, 05 - Maret - 2009, 09:49:58

Pembicaraan seputar ikhtilath atau bercampur baur antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa hijab/tabir penghalang sudah pernah kita singgung. Namun karena banyaknya penyimpangan kaum muslimin dalam perkara ini dan adanya sisi-sisi permasalahan yang belum tersentuh maka tak ada salahnya kita bicarakan dan kita ingatkan kembali.

Bukankah Rabbul Izzah telah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Dan juga dalam rangka menasihati diri pribadi dan orang lain, karena agama ini adalah nasihat, seperti kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh1 rahimahullahu menyatakan dalam Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan ada tiga keadaan:
“Pertama: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini jelas dibolehkan.
Kedua: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas keharamannya.
Ketiga: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran ilmu, di toko/warung, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.”
Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar.
Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan pernikahan yang syar’i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan kita bawakan di bawah ini.
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. (Yusuf: 23)
Ketika terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri Al-Aziz, pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yusuf: 34)
Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masingnya tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk menundukkan pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya seperti termaktub dalam firman-Nya:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin dan kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu dari kaidah yang ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Berarti menundukkan pandangan dari melihat yang haram itu hukumnya wajib. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi mereka. Penetap syariat tidak membolehkan lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya terkecuali pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan tanpa sengaja itu, tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anahu berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5609)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna الْفُجَاءَةِ نَظْرِ adalah pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja. Maka tidak ada dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib baginya memalingkan pandangannya pada saat itu. Jika segera dipalingkannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun bila ia terus memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jarir untuk memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata…’.” (An-Nur: 30) [Al-Minhaj, 14/364]
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari lawan jenis, karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah zina. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina2, dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Memandang wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki merasakan kenikmatan tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan menumbuhkan sebuah “rasa” di hati si lelaki, sehingga hatinya pun terpaut dan pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya saling pandang antara lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara lawan jenis. Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada.” (Ghafir: 19)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anahuma berkata, “Ayat ini terkait dengan seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang wanita. Ia pun mencuri pandang kepada si wanita.” Ibnu Abbas berkata pula, “Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita. Namun bila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya. Bila ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya lagi, ia kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 15/198)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu bagaimana lagi dengan ikhtilath? Bila memandang saja dicap berkhianat sebagai suatu cap yang jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan dengan wanita ajnabiyah.

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suci lagi menjaga kehormatan diri untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini berlaku umum untuk semua wanita yang beriman, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya untuk para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap tinggal di dalam rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak keluar dari rumahnya?

Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di antaranya:
1. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anaha istri Abu Humaid As-Sa'idi Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي
“Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, “Rijal hadits ini rijal shahih kecuali Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban.” Demikian pula yang dikatakan Al-Hafizh dalam At-Ta’jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad, 18/424, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan, “Hadits seperti ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka aku katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal itu karena seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu'ah Durus Fatawa, 2/274)
Beliau rahimahullahu juga mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah (godaan) maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma'rifati ma Yuhammimul Mushallin, hal. 570)

2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (HR. Muslim no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata, “Adapun shaf-shaf lelaki maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan lelaki, maka shaf mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar'i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan lelaki dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari berhubungan dengan kaum lelaki dan memikirkan mereka ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari yang telah disebutkan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan'ani rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum lelaki, jauh dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki, yang paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Apabila penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan keterpautan antara lelaki dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal dalam shalat jelas terpisah antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan umumnya mereka yang datang memang ingin menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jauh dari keinginan untuk berbuat jelek, maka tentunya di tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama lagi pelarangannya.

3. Zainab radhiyallahu ‘anaha istri Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anahu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami:
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا
“Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat berjamaah di masjid maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.” (HR. Muslim no. 996)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi masjid- masjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud no. 565. Kata Al-Imam Al Albani rahimahullahu, “Hadits ini hasan shahih.”)
Ibnu Daqiqil Id rahimahullahu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai wangi-wangian atau dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki dengan aroma semerbak mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat lelaki. Tentunya pelarangan memakai wangi-wangian bagi wanita selain keluar menuju ke masjid lebih utama lagi (keluar ke pasar, misalnya, pent.).”
Beliau mengatakan pula, “Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah menampakkan perhiasan, pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan perhiasan.” (Al-Ikmal, 2/355)
Keluar rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur dengan lelaki ajnabi.

4. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan wanita sebagai fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan kita bila yang menjadi fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu tempat?

5. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk berhati-hati dari wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat terealisir bila ikhtilath dianggap boleh? Bila demikian keadaannya maka jelaslah keharaman ikhtilath.

6. Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita ketika beliau keluar dari masjid dan mendapati para lelaki bercampur baur dengan mereka di jalan:
اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرْيْقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ.- فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْصُقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى أَنَّ ثَوْبَهَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
“Berjalanlah kalian di belakang (jangan mendahului laki-laki). Karena sungguh tidak ada bagi kalian hak untuk lewat di tengah-tengah jalan, tapi bagi kalian hanyalah (boleh lewat/berjalan di) tepi-tepi jalan.”
Maka ada wanita yang berjalan menempel/merapat ke dinding/tembok sampai-sampai pakaiannya melekat dengan tembok karena rapatnya dengan tembok tersebut. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 856 dan Al-Misykat no. 4727)
Dalam hadits di atas jelas sekali larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ikhtilath di jalanan karena akan mengantarkan kepada fitnah. Pelarangan ini juga berlaku di tempat lain.

7. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anaha menceritakan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِيْنَ يَقْضِي تَسْلِيْمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيْرًا قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ. قَالَ: نَرَى – وَاللهُ أَعْلَمُ- أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجاَلِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah mengucapkan salam sebagai akhir shalatnya, maka para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah bersama beliau segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap diam sebentar di tempatnya sebelum beliau bangkit.”
Perawi hadits ini berkata, “Kami memandang –wallahu a’lam– Rasulullah berbuat demikian agar para wanita telah pulang semuanya meninggalkan masjid sebelum ada seorang lelakipun yang mendapati/bertemu dengan mereka” (HR. Al-Bukhari no. 870)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan terjadinya ikhtilath antara lelaki dan wanita sepulangnya mereka dari menunaikan ibadah shalat di masjid. Ini jelas menunjukkan terlarangnya ikhtilath.

8. Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anahu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَـحِلُّ لَهُ
“Ditusuk kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya3.” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnadnya 2/227. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits ini sanadnya jayyid.” Lihat Ash-Shahihah no. 226)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya karena bersentuhan dengan lawan jenis memberi dampak yang jelek. Dan saling sentuh ini bisa terjadi karena adanya ikhtilath, maka pantas sekali bila ikhtilath itu dilarang karena akibat buruk yang ditimbulkannya.
Demikian beberapa dalil yang bisa dibawakan untuk menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Beliau adalah Abu Abdil Aziz Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua. Beliau lahir di Riyadh, 17 Muharram 1311 H. Tumbuh dalam bimbingan langsung dari sang ayah dan pamannya Abdullah bin Abdil Lathif, seorang yang sangat alim di zamannya. Hafal Al-Qur’an pada usia 11 tahun dan mengalami kebutaan pada usia 16 tahun, namun tidak mengurangi semangatnya untuk meraup ilmu dari ulama yang hidup di masa itu. Beliau adalah mufti kerajaan Saudi Arabia di zamannya. Dari pengajaran beliau, lahirlah para ulama besar seperti Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid, Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdullah Al-Qar'awi, dan selain mereka –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semuanya–. Beliau wafat di bulan Ramadhan tahun 1389 H dengan mewariskan banyak karya dalam bentuk fatwa, rasa’il dan masa’il yang telah dicetak berjilid-jilid tebalnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dan menempatkannya di surga-Nya nan luas.
2 Yakni zina itu tidak hanya apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)
3 Faedah: Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata setelah membawakan hadits ini, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Ini juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan wanita, karena berjabat tangan jelas tanpa ragu terjadi sentuhan. Kebanyakan kaum muslimin di masa ini telah ditimpa musibah, bahkan di antara mereka sebagiannya adalah ahlul ilmi. Seandainya ahlul ilmi ini mengingkari hal tersebut dengan hati mereka, niscaya sebagian perkaranya jadi mudah. Akan tetapi mereka menghalalkan berjabat tangan tersebut dengan beragam cara/jalan dan penakwilan. Sungguh telah sampai berita kepada kami ada tokoh besar di Al-Azhar terlihat berjabat tangan dengan wanita, maka hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan keasingan ajaran Islam. Bahkan sebagian partai Islam berpendapat bolehnya berjabat tangan dengan wanita….” (Ash-Shahihah, 1/448-449)
http://www.asysyariah.com/images/logo.gif

Menebar Pesona, Menuai Petaka
Penulis: Al Ustadzah
Sakinah, Mutiara Kata, 13 - Agustus - 2004, 02:52:21

Mutiara Kata


Menebar Pesona, Menuai Petaka

Atas nama "keindahan", fisik wanita telah dieksploitasi sedemikian rupa. Hampir tak ada ruang publik yang di dalamnya tidak ditonjolkan keindahan fisik (baca: aurat) kaum hawa. Televisi, internet, dan media cetak pun menjadi sarana yang sangat efektif untuk menebar pesonanya.

Bagi sebagian besar masyarakat, majalah, tabloid, buletin, dan semacamnya, telah menjadi kebutuhan bahkan tuntutan. Motif membacanya pun beragam. Ada yang berdalih untuk mengikuti perkembangan mode terkini, ada yang tak ingin ketinggalan dengan gosip terbaru tentang artis idolanya, sekedar mengikuti perkembangan jaman, dan sejuta dalih lainnya.
Namun tentu saja, tak setiap majalah membawa faidah. Karena, majalah dan sejenisnya itu ternyata menyimpan musibah. Di antaranya terpampangnya gambar-gambar, khususnya gambar wanita.
Tak bisa dipungkiri, lembaran-lembaran majalah dan semacamnya itu, seolah memang telah "mewajibkan" dimuatnya foto wanita, baik artis, bintang iklan, maupun tokoh lain, dalam berbagai pose. Bahkan majalah yang dikemas khusus untuk kaum pria pun tak ketinggalan menjajakan wanita sebagai daya tarik untuk memancing minat pembaca. Seolah media tersebut tak akan laku tanpa wanita. Lebih-lebih lagi gambar-gambar wanita yang dapat memancing bergolaknya syahwat.
Sungguh, keadaan yang demikian adalah musibah yang sangat mengerikan. Tersebarnya gambar yang semacam itu akan menggiring masyarakat pada kerusakan akhlak, sehingga perzinaan bukan lagi dianggap barang tabu.
Andaikan mereka mengingat lagi peringatan dari Rabb semesta alam ketika Dia berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
"Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan sejelek-jelek jalan." (Al-Isra: 32)

Dalam ayat ini Allah ta'ala berfirman, melarang hamba-hamba-Nya dari berbuat zina, mendekati perbuatan itu, dan melakukan hal-hal yang mendorong serta mengantarkannya kepada zina. Demikian diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/41)
Kalangan ulama pun turut berbicara tentang permasalahan majalah ini. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah secara gamblang mengungkap, bagaimana sebenarnya keberadaan majalah-majalah yang ada pada masa ini. Di belahan lain, seorang muhaddits dari Negeri Yaman turut berbicara tentang permasalahan gambar secara khusus. Ketika disibak dan dirunut kembali lembaran-lembaran yang memuat pembicaraan mereka berdua, semogalah diraup banyak faidah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah pernah diminta fatwanya tentang majalah yang beredar di negerinya. Setelah dengan terpaksa membolak-balik dengan cepat dan sekilas isi majalah yang disodorkan kepada beliau -karena tidak mungkin beliau memberikan hukum tanpa tahu isinya- beliau menyatakan:
Aku dapatkan majalah-majalah ini –demi Allah– aku bersumpah dengan nama Allah di tempat ini, sedangkan kalian menjadi saksi. Dan Allah yang ada di atas kita menjadi saksi atas apa yang akan kukatakan dan atas apa yang kalian dengar, aku dapati majalah-majalah ini menghancurkan akhlak dan merusak umat. Seseorang yang berakal yang mau menelitinya tidak akan ragu terhadap keinginan pengedar majalah ini di tengah masyarakat muslimin.
Aku dapati setelah melihat sendiri, ternyata majalah ini lebih buruk daripada apa yang didengar. Kudapati dalam majalah ini, ucapan-ucapan rendah, hina, tidak ada rasa malu sama sekali, yang ucapan semacam itu bakal dimuntahkan oleh setiap orang yang memiliki akhlak yang lurus.
Aku melihat di sampulnya ada gambar-gambar wanita. Demikian pula di dalamnya ada gambar-gambar wanita yang akan menjerumuskan ke jurang fitnah dengan berbagai penampilan mode yang rendah, yang menenggelamkan dalam kerendahan dan dapat menggerakkan syahwat orang yang tidak memiliki syahwat sekalipun.
Aku dapatkan pula gambar kemasan-kemasan rokok yang mengajak manusia untuk mengisapnya, dan aku dapatkan pula kemungkaran-kemungkaran yang besar dan keji selain itu…."
Sedemikian buruknya keadaan majalah-majalah tersebut, hingga beliau juga menyatakan:
Aku menyeru kalian untuk menjaga agama dan akhlak kalian. Aku menyeru kalian untuk menjauh dari fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Aku memperingatkan kalian agar tidak memasukkan koran dan majalah yang penuh dengan gambar yang membuat fitnah, sarat dengan kata-kata yang menyesatkan, dan mode-mode yang menyimpang, ke dalam rumah kalian, hingga koran dan majalah itu jatuh ke tangan anggota keluarga kalian. Akibatnya, koran dan majalah itu akan membinasakan dan merusak akhlak mereka. Segala sesuatu yang dipampangkan dalam koran dan majalah ini, akan memberi pengaruh terhadap orang yang mengumpulkannya dalam keadaan ia senang dengannya dan dengan pemikiran yang disebarkan dalam majalah itu.
Wahai kaum mukminin, keberadaan majalah dan koran di dalam rumah akan mencegah masuknya malaikat ke dalam rumah, karena malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar. Lalu bagaimana persangkaanmu tentang rumah yang tidak dimasuki malaikat?
Oleh karena itu, mengumpulkan majalah seperti ini haram hukumnya, haram menjual dan membelinya, haram mencari keuntungan dengannya, haram pula menghadiahkannya dan menerimanya sebagai hadiah. Setiap upaya yang membantu penyebarannya di kalangan muslimin haram, karena perbuatan demikian termasuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
Allah ta'ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan." (Al-Maidah: 2)
(Dari khutbah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah yang dibukukan dengan judul Fitanul Majallat)
Gambar-gambar makhluk bernyawa yang dimuat di majalah atau media lain merupakan salah satu musibah. Seolah-olah suatu hal yang lumrah bila majalah dihiasi dengan gambar semacam itu. Sementara telah jelas haramnya gambar-gambar makhluk bernyawa, sebagaimana dikatakan oleh Jabir radhiallahu 'anhu:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصُّوْرَةِ فِي البَيْتِ وَنَهَى أَنْ يُصْنَعَ ذَلِكَ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan melarang membuat gambar. (Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/168)
Yang termasuk dalam larangan ini adalah semua gambar makhluk hidup, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, yang tidak memiliki bayangan maupun yang memiliki bayangan (Hukmu Tashwir Dzawaatil Arwah, hal. 31, oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ
"Setiap tukang gambar tempatnya di neraka. Dijadikan setiap gambar yang ia buat memiliki nyawa, kemudian gambar-gambar yang bernyawa itu mengadzabnya di jahannam."
Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma menyampaikan hadits ini kepada seorang tukang gambar, kemudian berkata, "Apabila mau tidak mau engkau harus menggambar, maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki ruh." (Shahih, HR. Muslim no. 2110)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah menjelaskan bahwa sebab-sebab dilarangnya menggambar makhluk yang memiliki ruh adalah:
1. Gambar demikian memalingkan peribadahan kepada Allah, karena pada akhirnya gambar tersebut akan diibadahi.
'Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan, "Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sakit, sebagian istri beliau membicarakan tentang gereja bernama Mariyah yang mereka lihat di Habasyah. Di antara istri beliau yang pernah ke negeri Habasyah adalah Ummu Salamah dan Ummu Habibah radhiallahu 'anhuma. Keduanya menceritakan keindahan gereja tersebut dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kepala beliau seraya berkata:

إِنَّ أُولَئُِكَ إِذَا كَانَ فِيْهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ
"Apabila ada di kalangan mereka itu seorang shalih meninggal dunia, mereka membangun masjid di atas kuburannya, kemudian mereka membuat gambar orang shalih tersebut di dalam masjid yang dibangun. Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 427, 434, 1341, 3878 dan Muslim no. 528)
2. Gambar-gambar itu menandingi ciptaan Allah.
'Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke rumahku. Ketika itu aku menutup rakku dengan kain tipis yang bergambar. Maka ketika beliau melihatnya, beliau merobeknya dan wajah beliau pun berubah (marah). Beliau bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ
"Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyaingi ciptaan Allah." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5954)
3. Gambar-gambar itu membuat fitnah
Majalah yang ada saat ini terkadang mendatangkan fitnah bagi seorang laki-laki apabila ia melihat gambar wanita-wanita telanjang di dalamnya, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ فِيْكُمْ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرَّجُلِ مِنَ النِّسَاءِ
"Tidaklah aku tinggalkan di antara kalian sepeninggalku nanti fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740)
Demikian pula bila laki-laki melihat wanita di televisi, internet, atau melalui handphone yang dapat mengirimkan gambar, ataupun media lainnya yang disiapkan oleh musuh-musuh Islam untuk menebarkan fitnah di kalangan kaum muslimin agar berpaling dari agama mereka. Karena memang setiap kali manusia bosan terhadap sebuah piranti teknologi, maka musuh-musuh Islam ini mendatangkan alat lain yang lebih canggih. Oleh sebab itulah gambar yang tersebar di media cetak, audio visual, dan alat-alat mutakhir lainnya, diharamkan.
Yang dikecualikan dari pengharaman gambar ini hanyalah permainan boneka anak kecil yang terbuat dari kain perca dan kapas, sebagaimana permainan 'Aisyah radhiallahu 'anha berupa seekor kuda bersayap. Adapun yang terbuat dari plastik, maka tidak termasuk dalam kebolehan tersebut. (Dinukil secara ringkas dari Hukmu Tashwiir Dzawaatil Arwah)
Adapun bila gambar itu tidak memiliki kepala, maka bukan termasuk makhluk hidup, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika mendapatkan gambar atau patung makhluk hidup, beliau memotong kepalanya. (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (8/90), Abu Dawud dalam Sunan-nya (11/213), dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Hukmu Tashwiir Dzawaatil Arwah, hal. 52)
Selain itu, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu juga meriwayatkan:

أَنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَرَفَ صَوْتَهُ فَقَالَ : اُدْخُلْ. فَقَالَ: إِنَّ فِي البَيْتِ سِتْرًا فِي الحَائِطِ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ فَاقْطَعُوا رُئُوْسَهَا فَاجْعَلُوْا بِسَاطًا أَوْ وَسَائِدَ فَأَوْطَأْهَا فَإِنَّا لاَ نَدْخُلُ بَيْتًا فِيْهِ تَمَاثِيْلَُ
Jibril 'alaihis salam datang, lalu mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi mengenali suaranya. Beliau berkata, "Masuklah." Jibril menjawab, "Sesungguhnya di dalam rumah ini ada satir (penutup) tembok yang bergambar makhluk hidup, maka potonglah kepalanya , lalu jadikan kain satir itu hamparan atau bantal untuk diinjak, karena kami tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambar makhluk hidup." (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 8065. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad (2/346) berkata: 'Hadits ini shahih dan rijalnya rijal shahih.')
Dalam hadits di atas terdapat dalil di mana gambar-gambar yang dihinakan harus telah dipotong kepalanya hingga menyerupai pohon. Juga kita dapatkan dalil lain yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menolak untuk masuk ke rumah 'Aisyah radhiallahu 'anha ketika beliau melihat di dalamnya ada dua bantal bergambar makhluk hidup, hingga beliau menyobek gambar tersebut. (Hukmu Tashwiir Dzawaatil Arwah, catatan kaki hal. 53)
Demikianlah pada akhirnya, diakui ataupun tidak, nampaklah bagi setiap orang yang menyimak ucapan dua ulama di atas tentang keberadaan majalah yang banyak tersebar di tangan kaum muslimin sekarang ini. Apa pun dalih bagi kalangan yang menentangnya, namun sesungguhnya kebenaran itu tidak akan sirna selamanya.
(Dinukil secara ringkas oleh Ummu 'Abdirrahman Anisah bintu 'Imran dari tulisan Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari yang berjudul Kedudukan Media Massa dalam Syariat Islam)
http://asysyariah.com/images/logo.gif

Menikah dengan Aturan Islam
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Syariah, Kajian Utama, 24 - April - 2008, 19:01:29

Sebagai salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan syariat.

Pengertian Nikah
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (“hubungan” suami istri).
Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.
Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-Ma`idah: 1) [Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/175-176, Fathul Bari, 9/130, Adz-Dzakhirah, 4/188-189, At-Ta’rifat Lil Jurjani, hal. 237, Asy-Syarhul Mumti’, 12/5, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274]

Pensyariatan Nikah dan Maslahatnya
Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi.” (An-Nisa`: 3)
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (An-Nur: 32)
Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang bisa kita sebutkan adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para pemuda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu)
Adapun dari ijma’ maka telah dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam kitabnya Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’.
Penetap syariat banyak memberikan hasungan untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam pernikahan banyak diperoleh maslahat yang agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri, anak-anak yang dilahirkan, masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak sekian banyak mafsadat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda memberi hasungan:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/189)
Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tidak ketinggalan dalam memberi hasungan untuk menikah. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullahu: “Apakah engkau telah menikah?” “Belum,” jawab Sa’id. Ibnu ‘Abbas berkata, “Menikahlah! Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5069)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Seandainya tidak tersisa umurku kecuali hanya semalam, niscaya aku menyenangi bila aku memiliki seorang istri pada malam tersebut.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4/128)
Di antara faedah dan manfaat yang besar dari pernikahan yang dapat kita sebutkan adalah sebagai berikut:
1. Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat manusia.
2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya.
3. Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini.
4. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu’ (anak keturunan seseorang).
5. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak dapat disamai dengan cinta dan kasih sayang di antara dua orang yang berteman atau dua orang yang dekat hubungannya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ النِّكَاحِ
“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara dua orang yang saling mencintai yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dengan jalan yang lain, lihat Ash-Shahihah no. 624)
6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan guna bersama membina rumah tangga dan keluarga, di mana keluarga merupakan inti tegaknya masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si suami menjaga, mengarahkan dan membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia bekerja untuk menafkahi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang lain (wanita) dan juga karena kaum laki-laki telah menginfakkan sebagian dari harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Sementara si istri mengatur rumahnya, mendidik anak-anaknya dan mengurusi perkara mereka. Dengan semua ini akan luruslah keadaan dan teraturlah segala urusan. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274, Taudhihul Ahkam, 5/210)

Hukum Nikah
Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.
Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)
Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.
Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.
Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)
[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524, Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al-Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)
Berikut ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab1 tentang hukum nikah:
 Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullahu dalam Hasyiyah-nya menyatakan,
q nikah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)
 Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Nikah –tanpa melihat
q keadaan orang-orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal, karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan2.” (Adz-Dzakhirah, 4/190)
 Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa yang
q dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’ 17/203)
 Ibnu Qudamah Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat
q bahwa nikah disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)
 Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada
q setiap orang yang mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)

Tujuan Menikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang dihalalkan:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu`minun: 5-6)
Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Karena dengan nikah akan lebih menundukkan pandangan (dari melihat yang haram) dan lebih menjaga kemaluan (dari melakukan zina),” juga terkandung tujuan nikah.

1 Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah.
2 Yaitu hadits: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
http://asysyariah.com/images/logo.gif

Kebatilan yang Tersamarkan
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
Syariah, Tafsir, 02 - Desember - 2009, 09:16:12

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 29)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
لاَ تَأْكُلُوا

“Jangan kalian memakan.”
Yang dimaksud ‘makan’ di sini adalah segala bentuk tindakan, baik mengambil atau menguasai. (Tafsir Al-Alusi)
Ibnul Arabi rahimahullahu menjelaskan: “Maknanya, janganlah kalian mengambil dan janganlah kalian menempuh caranya.” (Ahkam Al-Qur’an, 1/97)

أَمْوَالَكُمْ
“Harta-harta kalian”, meliputi seluruh jenis harta, semuanya termasuk kecuali bila ada dalil syar’i yang menunjukkan kebolehannya. Maka segala perkara yang tidak dibolehkan mengambilnya dalam syariat berarti harta tersebut dimakan dengan cara yang batil. (Fathul Qadir)

بِالْبَاطِلِ
“Dengan cara yang batil.”
Yaitu segala perkara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk di dalamnya hasil riba, pencurian, perjudian, dan lain sebagainya. Al-Jashshash rahimahullahu mengatakan: “Memiliki harta dengan cara terlarang.” (Ahkamul Qur’an, 4/300)

Penjelasan Makna Ayat
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin untuk memakan harta sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dengan cara yang batil. Yaitu dengan segala jenis penghasilan yang tidak syar’i, seperti berbagai jenis transaksi riba, judi, mencuri, dan lainnya, yang berupa berbagai jenis tindakan penipuan dan kezaliman. Bahkan termasuk pula orang yang memakan hartanya sendiri dengan penuh kesombongan dan kecongkakan. (Tafsir Ibnu Katsir, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengatakan: “Ayat ini mencakup seluruh umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maknanya adalah: ‘Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain tanpa hak.’ Termasuk dalam hal ini adalah perjudian, penipuan, menguasai (milik orang lain), mengingkari hak-hak (orang lain), apa-apa yang pemiliknya tidak ridha, atau yang diharamkan oleh syariat meskipun pemiliknya ridha.” (Tafsir Ath-Thabari dalam menjelaskan surah Al-Baqarah ayat 188)
Dari penjelasan para ulama tentang hal ini, kita bisa memberi kesimpulan bahwa memakan harta dengan cara yang batil terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: mengambilnya dengan cara zalim seperti mencuri, khianat, suap, dan yang lainnya.
Kedua: apa yang diharamkan oleh syariat meskipun pemilik harta itu ridha. (Ahkamul Qur'an, Al-Jashshash 1/312)
Selain dalam surah An-Nisa ayat 29, ayat-ayat yang menyebutkan haramnya memakan harta manusia dengan cara batil juga terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 188, An-Nisa ayat 161, dan At-Taubah ayat 34.

Beberapa bentuk memakan harta dengan cara batil
Banyak cara manusia dalam memperoleh harta, namun tidak semua cara tersebut dihalalkan di dalam Islam. “Tujuan menghalalkan segala cara” bukanlah termasuk kaidah di dalam Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ: أَخَذَ الْحَلَالَ وَتَرَكَ الْحَرَامَ
“Perbaikilah dalam mencari rezeki, dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 6/2607)
Memakan harta manusia dengan cara yang batil memiliki banyak bentuk. Namun di sini akan kami sebutkan beberapa contoh yang mungkin sering terjadi di kalangan manusia. Di antaranya adalah:

a. Memakan hasil riba
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 160-161)
Al-’Aini rahimahullahu menjelaskan: “Bahwa pelaku riba tidak ridha dengan apa yang telah menjadi pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala dari (perkara) yang halal dan tidak merasa cukup dengan apa yang disyariatkan berupa penghasilan yang dibolehkan. Alhasil, dia menempuh cara batil memakan harta manusia dengan berbagai usaha yang buruk. Artinya, dia mengingkari apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya berupa kenikmatan. Dia berbuat zalim serta berdosa karena memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (‘Umdatul Qari, Al-Aini, 8/269)
Segala yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan riba tersebut, termasuk yang menanamkan modal ke dalamnya, serta menghasilkan keuntungan, tergolong dalam memakan harta dengan cara batil.
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya: “Apakah orang-orang yang ikut serta menanamkan modal ke bank manapun yang bermuamalah dengan cara demikian (riba), keuntungannya termasuk riba?”
Mereka menjawab: “Iya. Setiap yang ikut serta menanam modal pada bank yang bermuamalah dengan cara riba, maka keuntungannya termasuk riba, dan (ini artinya) memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 2256)

b. Mengambil harta dengan cara menipu
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya: “Acap terjadi dalam usaha bengkel mobil. Jika salah seorang dari mereka ingin memperbaiki mobil konsumen di mana mobil ini membutuhkan pergantian suku cadang, maka mekanik ini membeli suku cadang tersebut dan meminta penjual suku cadang menuliskan dalam nota jumlah yang melebihi harga sebenarnya. Sehingga dia mengambil kelebihan tersebut secara menyeluruh dari pemilik mobil. Apakah hukum syar’i terhadap perbuatan ini?”
Mereka menjawab: “Wajib atas setiap muslim untuk berbuat jujur dalam setiap muamalah. Tidak diperbolehkan baginya berdusta dan mengambil harta manusia tanpa hak. Termasuk di antaranya adalah siapa yang diberi kuasa/mewakili saudaranya untuk membeli sesuatu, tidak boleh baginya mengambil tambahan harga dari apa yang telah dibelinya. Sebagaimana tidak boleh pula yang menjual barang kepadanya menulis di nota harga yang bukan sebenarnya, untuk menipu orang yang memberi kuasa, sehingga dia membayar melebihi harga sebenarnya dan diambil oleh yang diwakilkan. Sebab ini termasuk tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan, serta memakan harta manusia dengan cara batil. Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya. Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alusy Syaikh
(Fatawa Al-Lajnah, 14/275-276, no. 15376)

c. Memungut pajak
Diterapkannya perpajakan di sekian banyak negara, termasuk pula negeri-negeri kaum muslimin, merupakan bentuk mengambil harta manusia dengan cara yang batil dan zalim. Sebab tidak diperbolehkan mewajibkan sesuatu atas manusia, baik muslim maupun kafir pada harta mereka, kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaukani rahimahullahu mengatakan: “Kesimpulannya bahwa hukum asal harta manusia, baik muslim maupun kafir adalah haram (untuk diambil).” –Beliau lalu menyebutkan ayat di atas– kemudian berkata: “Maka harus ada dalil yang menunjukkan dihalalkannya sesuatu yang dituntut tersebut.” (Dinukil oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyyah, 1/278-280)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengancam para pemungut pajak dalam beberapa haditsnya. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ صَاحِبَ الْـمَكْسِ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya pemungut pajak dalam neraka.” (HR. Ahmad, 4/109, Ath-Thabarani, 5/29, dari hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah, Al-Albani, 7/3405)
Dalam riwayat lain dari hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak masuk surga pemungut pajak.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2333, Ad-Darimi no. 1666, dengan sanad hasan lighairihi)
Adapun makna ‘al-maks’, dijelaskan Ibnul Atsir rahimahullahu: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang.” (An-Nihayah, 4/349. Lihat pula yang semakna dalam Lisanul ‘Arab, 13/160)
Dalam Al-Qamus disebutkan: “م-ك-س jika dia mengambil harta, dan maks; mengurangi dan menzalimi beberapa dirham yang diambil dari penjual barang di pasar pada masa jahiliah.”
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang yang masuk ke dalam negeri.” (semacam pajak impor, red.)
Al-Maks ini juga kadang diistilahkan dengan ‘dharibah’ atau ‘jamrak.’
Di antara yang menunjukkan bahwa perpajakan merupakan dosa yang sangat besar adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah Ma’iz bin Malik Al-Aslami dan kisah wanita Al-Ghamidiyyah yang telah berbuat zina dan bertaubat, lalu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina maka sucikanlah aku.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya. Lalu ia datang keesokan harinya dan berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menolakku? Jangan sampai engkau menolakku sebagaimana engkau menolak Ma’iz. Demi Allah, sesungguhnya aku dalam keadaan hamil.” Maka beliau menjawab: “Tidak. Pergilah engkau sampai engkau melahirkan anakmu.” Ketika telah melahirkan, wanita ini pun datang membawa bayinya pada bungkusan kain, lalu berkata: “Ini anaknya. Aku telah melahirkannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Pergilah dan susuilah dia hingga dia disapih.” Tatkala dia telah menyapihnya maka dia pun datang membawa anak tersebut dan di tangannya ada sepotong roti. Lalu berkata: “Ini wahai Nabi Allah, aku telah menyapihnya. Dia telah memakan makanan.” Maka anak tersebut diserahkan kepada seorang lelaki dari kaum muslimin. Lalu beliau memerintahkan (wanita tersebut) untuk ditanam hingga ke dadanya, dan memerintahkan manusia untuk merajamnya. Maka mereka pun merajam wanita tersebut. Datanglah Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu dengan membawa batu lalu melempar kepalanya hingga darahnya memercik ke wajah Khalid, spontan dia mencacinya. Mendengar cacian tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
“Perlahan wahai Khalid. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang kalau sekiranya taubat itu ada pada pemungut pajak, maka dia pasti diampuni.” Lalu beliau memerintahkan untuk menyalatinya dan dikuburkan. (HR. Muslim no. 1695)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan ketika menjelaskan hadits ini: “Hadits ini menunjukkan bahwa memungut pajak merupakan kemaksiatan yang paling jelek dan dosa yang membinasakan. Karena hal tersebut akan menyebabkan banyaknya tuntutan manusia kepada dirinya, perbuatan zalimnya dan berulangnya hal tersebut, merusak kehormatan manusia, serta mengambil harta mereka dengan tanpa hak dan mengarahkannya bukan pada tempatnya.” (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 11/203)
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya tentang hukum perpajakan, maka mereka menjawab:
“Memungut biaya/pajak terhadap barang-barang ekspor maupun impor termasuk mukus, dan mukus adalah haram. Seseorang bekerja (pada instansi yang bertugas demikian) adalah haram, meskipun pajak yang dihimpun nantinya digunakan pemerintah untuk membiayai berbagai proyek, seperti membangun sarana/prasarana negara. Berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memungut pajak dan sikap tegas beliau terhadapnya….”
Lalu mereka menyebutkan kedua hadits di atas dan melanjutkan:
“Adz-Dzahabi rahimahullahu menegaskan dalam kitabnya Al-Kaba’ir: ‘Pemungut pajak termasuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (Asy-Syura: 42)
Pemungut pajak termasuk pembantu terbesar orang-orang zalim, bahkan mereka sendiri termasuk orang-orang yang zalim. Karena dia mengambil apa yang bukan haknya dan memberi kepada yang bukan haknya. Beliau (Adz-Dzahabi) juga berdalil dengan hadits Buraidah dan hadits ‘Uqbah radhiyallahu ‘anhuma yang telah disebutkan. Beliau lalu berkata: ‘Pemungut pajak menyerupai penyamun jalanan dan termasuk dalam kategori pencurian. Yang mengambil pajak, penulisnya, saksinya, yang mengambilnya dari kalangan staf maupun atasan semuanya ikut serta dalam dosa, memakan harta yang haram.” Selesai ucapan Adz-Dzahabi rahimahullahu.
Hal itu termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan jangan kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Juga berdasarkan (hadits) yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda dalam khutbahnya di Mina pada hari ‘ied pada hajjatul wada’: “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti haramnya negeri kalian ini, pada bulan kalian ini.”
Maka seorang muslim hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan sumber penghasilan yang haram serta menempuh cara mendapatkan penghasilan yang halal, dan itu banyak, walhamdulillah. Barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencukupinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga selalu terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa Al-Lajnah, 23/489-492)
Wallahu a’lam.
http://asysyariah.com/images/logo.gif

Kenalilah Dirimu, Pastikan Tujuan Hidupmu ..!
Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Syariah, Akhlak, 08 - Agustus - 2006, 09:47:00

Selera dan gaya hidup seringkali tak berbanding lurus dengan penghasilan yang diperoleh. Banyak orang yang kemudian mengorbankan banyak hal demi berburu kesenangan sesaat.

Banyak orang beranggapan, hidup memang untuk dinikmati. Tak heran jika kemudian mereka berprinsip “yang penting senang” dan bagaimana menciptakan kehidupan yang “serba ada”. Tak peduli bagaimana caranya. Harga diri pun siap digadaikan demi memenuhi selera dan tuntutan gaya hidup yang dianutnya. Sehingga karena ingin hidup senang, akhirnya terlena untuk menimbang akibat buruk yang bakal timbul di kemudian hari. Melupakan urusan diri sendiri padahal diri ini dituntut memiliki kesiapan bila pada saatnya harus kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Walhasil, banyak yang dininabobokkan dengan ‘kesenangan’ sehingga seolah tidak ada hari perhitungan, hisab dan pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pelanggaran syariat terjadi di mana-mana. Zina, homoseks, mabuk-mabukan, pesta narkoba, judi, dan tindak kriminal lainnya, dilakukan demi apa yang disebut kesenangan. Bahkan tidak kalah besar adalah kesyirikan dan kebid’ahan yang dilakukan untuk mencari sebentuk kesenangan. Andai saja mereka mau belajar sejarah masa lampau dari para pendahulu yang telah dibinasakan Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa sisa karena kejahatan mereka!
Jelasnya, mereka ingin mengejar kesenangan hidup yang bersifat sementara dan melupakan kesenangan yang abadi di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yang pada akhirnya tidak mendapatkan kedua-duanya, kesenangan dunia ataupun kesenangan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوْءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لاَ تَفْرَحْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ. وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ. قَالَ إِنَّمَا أُوْتِيْتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلاَ يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ. فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِيْنَتِهِ قَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُوْنُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيْمٍ. وَقَالَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلاَ يُلَقَّاهَا إِلاَّ الصَّابِرُوْنَ. فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ اْلأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُوْنَهُ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِيْنَ. وَأَصْبَحَ الَّذِيْنَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِاْلأَمْسِ يَقُوْلُوْنَ وَيْكَأَنَّ اللهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلاَ أَنْ مَنَّ اللهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الْكَافِرُوْنَ. تِلْكَ الدَّارُ اْلآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لاَ يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ

“Sesungguhnya Qarun termasuk dari kaum Musa, namun ia berlaku aniaya terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh sangat berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. Ingatlah ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu membanggakan diri. Dan carilah kepada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat. Jangan kamu melupakan bagian (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’ Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripada dia dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya, orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia pun berkata: ‘Sekiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.’ Orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata: ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu. Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman lagi beramal shalih, dan tidaklah diperoleh pahala itu melainkan bagi orang-orang yang bersabar.” Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Tidak ada satu golonganpun yang menolongnya dari adzab Allah. Dan tidaklah ia termasuk dari orang yang membela dirinya. Jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu berkata: ‘Aduhai benarlah Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).’ Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashas: 76-83)
Siapakah yang akan selamat? Merekalah orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang menahan dirinya untuk terus di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menahan diri dari bermaksiat kepada-Nya serta siap menerima segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga orang-orang yang bersabar dari rayuan dunia dan syahwatnya untuk tersibukkan dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menghalangi mereka dari tujuan mereka diciptakan. Merekalah orang-orang yang mengutamakan ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada dunia yang fana. (Lihat Tafsir As-Sa’di hal. 574 )
Sungguh malang nasibmu wahai saudaraku, jika kamu lupa dan melalaikan akibat perbuatanmu. Hendaknya engkau segera mencari jalan keluar dari perbuatanmu. Simaklah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan camkan baik-baik:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Padanya (ada) malaikat yang keras dan kasar dan mereka tidak bermaksiat kepada Allah terhadap segala yang diperintahkan dan mereka melakukan segala apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Dan aku tidak bisa melepaskan diriku. Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan untuk berbuat jahat kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Apa yang menimpamu berupa kebaikan maka datangnya dari Allah dan apa yang menimpamu berupa kejahatan datangnya dari dirimu sendiri.” (An-Nisaa: 79)

وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

“Dan barangsiapa melakukannya maka sungguh dia telah mendzalimi dirinya sendiri.”(Al-Baqarah: 231)

قَدْ جَاءَكُمْ بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيْظٍ

“Sungguh telah datang kepada kalian hujjah dari Rabb kalian. Maka barangsiapa melihatnya untuk dirinya sendiri dan barangsiapa buta darinya atasnya dan aku bukan sebagai penolong atas kalian.” (Al-An’am: 104)

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيْلٍ

“Katakan wahai sekalian manusia, telah datang kepada kalian kebenaran dari Rabb kalian. Maka barangsiapa mendapatkan petunjuk untuk dirinya dan barangsiapa yang sesat, maka dia tersesat atas dirinya sendiri dan Aku bukanlah pembela atas kalian.” (Yunus: 108)
Semua ayat di atas mengingatkan kepada kita akan pentingnya memperhatikan urusan diri kita sendiri, di mana jika berhasil maka keberhasilan untuk diri kita sendiri dan jika merugi itu merupakan hasil usaha kita, tidak boleh kita mengkambinghitamkan orang lain.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Barangsiapa menemukan (ganjaran) kebaikan maka hendaklah dia memuji Allah dan barangsiapa mendapatkan selainnya janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.”1
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu di dalam Tafsir-nya menjelaskan: “Berkata Atha’ dari Ibnu Abbas: ‘Tinggalkanlah segala perkara yang dilarang Allah dan lakukan segala amal ketaatan’.” Al-Qurthubi menjelaskan: “Allah memerintahkan untuk menjaga dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
At-Thabari di dalam Tafsir-nya menjelaskan: “Ajarkanlah orang lain ilmu yang akan bisa menjaga kalian dari api neraka dan ilmu itu akan menjaga mereka dari neraka bila mereka mengamalkannya dalam bentuk mentaati Allah dan melakukan (segala bentuk) ketaatan (yang lain) kepada Allah.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan: “Menjaga diri artinya konsisten di atas perintah Allah dan larangannya dengan cara menjauhinya dan bertaubat dari segala yang akan mendatangkan kemurkaan dari Allah dan adzab-Nya.” Beliau juga mengatakan: “Apa yang menimpamu berupa kejelekan karena dirimu artinya karena dosa-dosa dan usahamu.”
Ketahuilah bahwa jiwa selalu berada dalam salah satu dari dua keadaan.
Pertama: Sibuk dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua: Tersibukkan oleh nafsunya (dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Karena bila jiwa itu tidak disibukkan, dia akan menyibukkan. Dan jika didapati ada yang akan meluruskannya niscaya akan menjadi lurus. (Nasihati Lin Nisa` hal. 19 karya Ummu Abdillah, putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i)

Bimbinglah Dirimu dan Berjuanglah!
Ibnul Qayyim di dalam Zadul Ma’ad (1/9) mengatakan: “Jihad memiliki empat tingkatan; yaitu jihad melawan diri sendiri, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan kaum munafiqin. Jihad melawan diri sendiri ada empat tingkatan:
Pertama: Berjihad agar diri ini mau mempelajari petunjuk dan kebenaran, di mana tidak ada kemenangan dan kebahagiaan di dalam kehidupan dunia dan akhirat kecuali dengannya. Dan jika dia tidak memiliki ilmu, akan celaka dunia dan akhirat.
Kedua: Berjihad agar mau mengamalkan ilmunya setelah dia berilmu. Sebab bila ilmu tidak dibarengi dengan amal, jika tidak memudharatkan maka tidak akan bermanfaat.
Ketiga: Berjihad untuk mendakwahkan ilmunya dan mengajarkan orang yang tidak mengetahui. Jika dia tidak mengajarkannya niscaya dia termasuk orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang telah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga, ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak akan menyelamatkan dia dari adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Keempat: Berjihad agar bersabar terhadap segala beban berat dalam dakwah dan dari segala gangguan manusia, serta menanggung semuanya itu karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jika keempat hal ini secara sempurna ada pada diri seseorang, niscaya dia termasuk Rabbaniyyun. Karena, ulama salaf sepakat bahwa seorang yang alim tidak pantas disebut Rabbani hingga dia mengetahui kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui. Barangsiapa belajar dan mengajarkannya lalu dia mengamalkannya, itulah orang yang memiliki kedudukan di hadapan seluruh makhluk.”
Dalam kesempatan lain, Ibnul Qayyim (1/6) menjelaskan: “Tatkala jihad melawan musuh dari luar merupakan bagian dari (berjihad melawan) musuh dari dalam diri kita, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Seorang mujahid adalah orang yang menjihadi dirinya di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala”, (berdasarkan hal ini) maka berjihad melawan diri sendiri lebih didahulukan dari melawan musuh dari luar diri kita, dan berjihad melawan diri sendiri merupakan muara dan landasan perjuangan. Karena barangsiapa tidak berhasil melawan diri sendiri dalam babak pertama agar dia melaksanakan segala apa yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang serta tidak memeranginya di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dia tidak mungkin melawan musuh yang datang dari luar. Bagaimana dia akan mampu melawan musuh dari luar dan melepaskan diri darinya, sementara musuh yang ada di antara dua lambungnya mengalahkan dan menguasai dirinya, serta tidak dia lawan dan perangi di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala?”

Kiat Menuju Kemenangan Diri
a. Bersemangat mencari ilmu

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka berilmulah tentang bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan mintalah ampun (kepada-Nya ) dari dosamu.” (Muhammad: 19)

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Allah telah mempersaksikan tentang kalimat La ilaha illallah dan berikut para Malaikat (ikut mempersaksikan) dan orang-orang yang berilmu, (bersaksi) dengan penuh keadilan dan tidak ada sesembahan yang benar melainkan Dia yang Maha Mulia dan Bijaksana.” (Al-Baqarah: 18)

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah inginkan untuk mendapatkan kebaikan, Allah faqihkan di dalam Agama.”2

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.”3

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim.”4

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Dan barangsiapa mengambil warisan tersebut berarti dia telah mengambil bagiannya yang terbanyak.”5

b. Memanfaatkan waktu luang dan kesehatan yang diberikan Allah
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالْعَصْرِ. إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya seluruh manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan orang-orang yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3)

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ

“Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ di dalam shalat mereka. Dan orang yang berpaling dari segala yang melalaikan.” (Al-Mu`minun: 1-3)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ

“Dan bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan menuju surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Termasuk kebagusan agama seseorang yaitu dia meninggalkan segala yang tidak bermanfaat.”6

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dua nikmat yang kebanyakan orang melalaikannya: Nikmat sehat dan waktu luang.”7

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِا

http://asysyariah.com/images/logo.gif

Shahihkah Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma Tentang Bolehnya Nyanyian dan Alat Musik
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc
Syariah, Hadits, 04 - Juni - 2008, 09:12:43

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا: هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ * إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: لاَ حَرَجَ
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ketika Hassan1 radhiyallahu 'anhu telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat radhiyallahu 'anhum duduk dua shaf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan radhiyallahu 'anhu bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! Apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”
Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan berkesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian dipahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: “La haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu.
Dalam hadits ini juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat radhiyallahu 'anhum yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin. Sehingga dipahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati Anda). Sesungguhnya hadits ini adalah sekian dari syubhat-syubhat yang dijadikan sandaran oleh hati-hati berpenyakit untuk membolehkan nyanyian dan alat musik. Akan tetapi benarkah hadits ini adalah dalil untuk mereka? Shahihkah penyandaran hadits ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?

Tinjauan Sanad Hadits
Ibnu ‘Asakir2 menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu 'anhuma.
Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil3.
Batilnya hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma dapat diketahui dari beberapa tinjauan.
Pertama, kelemahan sanadnya.
Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Qur`an.
Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah yang shahih.
Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik, yang sangat menjaga batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.
Empat tinjauan inilah yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan kali ini.
Diawali dari tinjauan sanad hadits, kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais.
Perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madani. Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.4
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata dalam riwayat Al-Atsram: “Lahu asy-ya`u munkarah (Dia mempunyai beberapa perkara mungkar).”
Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata: “Huwa dha’if (Dia lemah).”
Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Laisa bi qawiyyin (Dia bukanlah orang yang kuat).”
Abu Hatim Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”5
An-Nasa`i rahimahullahu berkata: “Matruk (Ditinggalkan).”6
Al-Jauzajani rahimahullahu berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”7
Ibnu Hibban rahimahullahu berkata: “Yuqallibul asanid wa yarfa’ul marasil (Dia membolak-balik sanad dan me-marfu’-kan yang mursal).”8
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Dha’if (lemah).”9
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) –setelah menyebutkan hadits di atas–: “Adapun Al-Husain, ‘Ali bin Al-Madini berkata tentangnya: “Taraktu haditsahu (Aku meninggalkan haditsnya).”10
An-Nasa`i berkata: “Matrukul hadits (Haditsnya ditinggalkan).” As-Sa’di berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”
Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. Hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.
Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi: “ Abu Uwais, namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).” Dan Yahya pernah berkata: “Kana yasriqul hadits (Adalah dia mencuri hadits).” (Al-Maudhu’at 3/116)
Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Uwais: “Laisa biqawiyyin (Dia bukan orang yang kuat).”11
Demikian secara singkat beberapa nukilan ucapan ulama tentang kedha’ifan Al-Husain dan Abu Uwais. Wallahu a’lam.

Penyelisihan terhadap Al-Qur`an
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati Anda).
Lemahnya hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma bukan hanya ditinjau dari sisi sanad. Penyelisihan hadits ini terhadap Al-Qur`an dan hadits shahih semakin memperjelas kebatilannya. Al-Qur`an menunjukkan haramnya musik dan alat-alat musik. Demikian pula sabda-sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
Di antara ayat yang menunjukkan haramnya musik adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَولاَدِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suara (ajakan)mu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki, dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak serta beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Mujahid rahimahullahu mengatakan bahwa makna () adalah perkataan sia-sia dan nyanyian. Demikian Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu meriwayatkan perkataan Mujahid rahimahullahu dalam tafsirnya.12
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsir beliau: “Yang dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’ adalah perkataan-perkataan yang melalaikan hati, yang menghalangi hati dari tujuan yang mulia. Maka masuk di dalamnya seluruh jenis perkataan haram, yang sia-sia dan batil, ucapan-ucapan yang tidak masuk akal dari perkataan yang menjerumuskan kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. (Juga) perkataan orang-orang yang menolak kebenaran dan berdebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq, ghibah, namimah (adu domba), dusta, cercaan dan celaan. (Termasuk juga) nyanyian, dan alat-alat musik,13 dan perkara-perkara melalaikan yang tidak ada manfaatnya, baik dunia atau agama.” (Taisir Al-Karimir Rahman, 6/150)

As-Sunnah Ash-Shahihah Bertentangan dengan Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma
Di antara hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menunjukkan haramnya musik dan alat musik adalah yang diriwayatkan dari sahabat Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْـمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada dari umatku sekelompok kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan hadits ini secara mu’allaq dalam Ash-Shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban rahimahullahu dalam Shahih-nya, juga yang lainnya dengan sanad yang shahih.14
Hadits yang mulia ini sangat tegas menyatakan haramnya alat musik sebagaimana haramnya zina, khamr, dan sutera (bagi laki-laki). Hadits ini sekaligus menjadi bukti dari sekian banyak bukti kenabian, di mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan perkara yang belum terjadi, kemudian terjadi seperti apa yang beliau kabarkan. Betapa banyak kaum muslimin menghalalkan musik dan alat-alat musik dengan berbagai model dan alirannya. Kenyataan yang menimpa umat ini sangat menyedihkan. Dan lebih menyedihkan lagi, ketika orang yang menghalalkannya adalah sosok yang mengaku sebagai da’i dan ustadz, kemudian menjual dagangannya dengan menyuguhkan hadits-hadits palsu yang tidak sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Subhanallah! Tidakkah mereka takut dengan ancaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang mutawatir:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atasnamaku hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”15
Hadits kedua di antara hadits-hadits yang mengharamkan musik dan alat musik adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ: صَوْتُ مِزْمَارٍ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَصَوْتُ وَيْلٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
“Dua suara yang dilaknat: suara mizmar (seruling) di kala suka, dan suara (ratapan) celaka di kala musibah.”16
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits terdapat pengharaman alat musik, karena mizmar adalah alat (musik) yang ditiup. Hadits ini merupakan salah satu dari banyak hadits yang membantah pembolehan Ibnu Hazm terhadap alat-alat musik.”17

Kemuliaan Sahabat Membantah Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma
Para pembaca rahimakumullah. Seorang muslim yang mengenal kesempurnaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kemuliaan para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum, akan merasakan keanehan dan keganjilan pada hadits yang kita bahas ini. Bagaimana tidak? Hadits tersebut mengandung celaan terhadap sahabat radhiyallahu 'anhum, bahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Inilah sisi keempat yang dengannya kita mengenal kebatilan hadits yang kita bahas. Yaitu dengan membandingkan keadaan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat berlawanan dengan apa yang ditunjukkan oleh hadits.
Telah menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi'in), kemudian generasi sesudahnya (tabi'ut tabi'in)."18
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata: “Yang wajib diyakini tentang sahabat, bahwasanya mereka adalah umat yang paling mulia dan generasi terbaik. Karena mereka adalah pendahulu (dalam kebaikan), memiliki kekhususan berupa menyertai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berjihad bersama beliau, mengemban syariat dari beliau, kemudian menyampaikannya kepada orang-orang sesudah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka dalam kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)19
Perhatikan sifat-sifat mulia yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada sahabat dalam dua ayat di atas. Tidak ada lagi keraguan akan kemuliaan sahabat dan tingginya derajat mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sejarah Islam turut membuktikan bahwa mereka adalah generasi terdepan umat ini. Waktu mereka dipenuhi dengan mempelajari ilmu, mengamalkan dan menyebarkannya. Mereka adalah mujahidin yang senantiasa berlaga di medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala di muka bumi. Gelapnya malam mereka lalui dengan bertaubat dan berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala, membaca dan mentadaburi ayat-ayat-Nya. Demikianlah sejarah bertutur, mereka adalah generasi termulia yang paling bersemangat dalam kebaikan serta paling jauh dari perkara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta'ala ridhai.
Adalah suatu hal yang mustahil bagi sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang waktu mereka dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kemudian mereka membuang waktu dengan perbuatan sia-sia bahkan diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sangat mustahil, sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian mulianya, duduk bershaf menyia-nyiakan waktu dengan perkara haram, memandang wanita, menikmati alunan lagu dan alat musik dari seorang perempuan yang tidak halal di tengah-tengah mereka. Demi Allah, hal ini adalah kedustaan yang nyata! Dan lebih tidak mungkin lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan kemungkaran yang tampak di hadapan beliau.
Di akhir pembahasan, sejenak kita buka lembaran kehidupan sahabat radhiyallahu 'anhum bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang penuh dengan kemuliaan. Sebuah sejarah yang setiap muslim tidak pernah bosan membacanya.
Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani rahimahullahu dalam kitabnya As-Sunan, meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu. Beliau radhiyallahu 'anhu menceritakan di antara kisah kesungguhan sahabat dalam beribadah dan berjihad fi sabilillah.
عَنْ جَابِرٍ [فِي رِوَايَةٍ عِنْدَ أَحْمَدَ: فِيْمَا يَذْكُرُ مِنَ اجْتِهَادِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْعِبَادَةِ] قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَأَصَابَ رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتَّى أُهَرِيقَ دَمًا فِي أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ. فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْزِلًا فَقَالَ: مَنْ رَجُلٌ يَكْلَؤُنَا؟ فَانْتَدَبَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: كُونَا بِفَمِ الشِّعْبِ. قَالَ: فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلَى فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ الْمُهَاجِرِيُّ وَقَامَ الْأَنْصَارِيُّ يُصَلِّي وَأَتَى الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرِفَ أَنَّهُ رَبِيئَةٌ لِلْقَوْمِ، فَرَمَاهُ بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيهِ فَنَزَعَهُ حَتَّى رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ، فَلَمَّا عَرِفَ أَنَّهُمْ قَدْ نَذِرُوا بِهِ هَرَبَ، وَلَمَّا رَأَى الْمُهَاجِرِيُّ مَا بِالْأَنْصَارِيِّ مِنَ الدَّمِ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، أَلاَ أَنْبَهْتَنِي أَوَّلَ مَا رَمَى؟ :قَالَ كُنْتُ فِي سُورَةٍ أَقْرَؤُهَا، فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu [tentang kesungguhan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah]20, beliau berkata: Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada perang Dzatur Riqa’, (ketika itu) seorang sahabat membunuh perempuan –istri dari seorang musyrikin–21, maka dia (laki-laki musyrik tersebut) bersumpah tidak akan berhenti (mengejar) hingga menumpahkan darah pada sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pergilah dia mengikuti jejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka singgahlah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di suatu tempat, kemudian beliau bersabda: “Siapakah yang akan menjaga kami?” Bangkitlah seorang sahabat dari Muhajirin dan seorang dari Anshar.22 Beliau bersabda: “Berjagalah di ujung syi’b (lembah antara dua bukit).” Tatkala keduanya telah pergi menuju ujung lembah di antara dua bukit, tidurlah sahabat dari Muhajirin, sedangkan sahabat dari Anshar tadi berdiri shalat. (Di saat itu) datanglah laki-laki musyrik melihat sahabat Anshar (dalam keadaan shalat), dan tahu bahwa dia adalah penjaga kaum. (Maka) dilepaskanlah anak panah hingga mengenai sahabat Anshar. Lantas (oleh sahabat yang terpanah) dicabutnya anak panah itu, hingga tiga kali terkena anak panah. Kemudian sahabat Anshar itu ruku’ dan sujud, hingga bangunlah sahabatnya (dari Muhajirin). Orang musyrik inipun tahu bahwasanya sahabat telah bersiaga, maka dia pun lari. Berkatalah si Muhajir ketika melihat darah pada sahabatnya: “Subhanallah, mengapa engkau tidak bangunkan aku ketika engkau baru dipanah?” Sahabat Anshar itu menjawab: “Aku ketika itu sedang membaca sebuah surat, dan aku tidak suka untuk memotongnya.”23
Perang Dzatur Riqa’ terjadi pada tahun ke-4 Hijriah demikian dikatakan Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya. Disebut perang Dzatur Riqa’ karena para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu banyak yang membalut kaki-kaki mereka yang terluka dalam peperangan, sebagaimana ditunjukkan riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya, dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu. Beliau radhiyallahu 'anhu berkata:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الْخِرَقَ، فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنَ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan, dan kami enam orang memakai satu onta bergantian dalam mengendarainya. Kaki-kaki kami terluka, dan terluka juga kakiku hingga lepas kuku-kukunya. Kami ketika itu membalut kaki-kaki kami dengan kain-kain, maka dinamailah perang tersebut dengan perang Dzatur Riqa’ karena apa yang kami lakukan, (yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain.”24
Lihatlah pembaca rahimakumullah, sebagian dari perjuangan yang sangat menakjubkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini. Berjalan siang malam menempuh sahara dengan segala kesukarannya. Mengorbankan jiwa dan raga untuk menegakkan kalimat Laa ilaa ha illallah di muka bumi.
Perhatikan pula bagaimana sahabat Anshar itu tegak berdiri membaca kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya di tengah-tengah tugas menjaga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Darah yang mengalirpun tidak lagi dihiraukan untuk tetap merenungi kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demikian pula kakinya tetap kokoh berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, orang yang mengetahui sejarah dan sadar akan kedudukan sahabat, dia akan terkejut ketika mendengar hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma yang sangat tidak sesuai dengan kehidupan sahabat radhiyallahu 'anhum. Selanjutnya dia akan bertanya: “Shahihkah hadits ini?” Maka jawabnya: Hadits ini bathil dan didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pembaca rahimakumullah (semoga Anda dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Di akhir pembahasan ini, kita meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar Dia melindungi kita dari kesesatan dan penyimpangan di tengah badai fitnah yang menimpa umat ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hati kita mencintai keimanan, mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpulkan kita bersama mereka di jannah-Nya yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

1 Beliau adalah Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Haram Al-Anshari Al-Khazraji, penyair Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau meninggal tahun 54 H. Lihat Taqrib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
2 Beliau adalah Al-Hafizh Abul Qasim ‘Ali bin Al-Hasan bin Hibatullah bin Abdillah Asy-Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir, meninggal tahun 571 H. 3 Lafadz bathil ketika digunakan untuk menghukumi sebuah hadits, semakna dengan lafadz maudhu’ atau makdzub atau hadza min ifkihi. Semuanya adalah lafadz-lafadz sharih (jelas) yang menunjukkan akan kepalsuan hadits. Wallahu a’lam.
4 Lafadz-lafadz jarh (pencacatan rawi) tersebut adalah istilah yang harus dipahami dan dicermati secara khusus dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil. Semua ibarat yang dilontarkan terhadap Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais adalah jarh (pencacatan) terhadap keduanya. Wallahu a’lam.
5 Ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, dan An-Nasa`i disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Jarh Wa At-Ta’dil (2/57).
6 Lihat Adh-Dhu’afa` wal Matrukin karya Al-Imam An-Nasa`i (1/33). Ibnu Abi Hatim juga menukilkan ucapan An-Nasa`i dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57).
7 Lihat Asy-Syajarah Fi Ahwalir Rijal karya Al-Jauzajani, hal. 240.
8 Lihat Al-Majruhin karya Ibnu Hibban Al-Busti (1/242).
9 Lihat Taqribut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
10 Ucapan ‘Ali bin Al-Madini disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57). Lihat juga Ad-Dhu’afa` karya Al-‘Uqaili (1/245).
11 Mizanul I’tidal karya Adz-Dzahabi (2/292).
12 Tafsir At-Thabari (15/118)
13 Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsir beliau (21/61-64) meriwayatkan sejumlah riwayat dari sahabat dan tabi’in tentang makna ( ﭴ ﭵ) yaitu nyanyian, maka rujuklah kepadanya.
14 Pendapat Ibnu Hazm tentang dha’ifnya hadits ini adalah pendapat yang tertolak. Untuk menambah keterangan, lihat pembahasan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam risalah beliau Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 38).
15 HR. Al-Bukhari no.108, dari hadits Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu 'anhu. Di awal hadits ini disebutkan bahwa 'Abdullah bin Az-Zubair rahimahullahu bertanya kepada ayahnya: “Aku tidak mendengar engkau banyak menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana fulan dan fulan menyampaikannya.” Kemudian Az-Zubair berkata sebagaimana lafadz hadits di atas.
16 HR. Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Ar-Ruba’iyat (2/22/1). Lihat pembahasan hadits pada Ash-Shahihah, no. 427.
17 Lihat Ash-Shahihah (1/2/790) hal. 791.
18 HR. Al-Bukhari no. 2652.
19 Kitab At-Tauhid (hal. 122-123) oleh Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan.
20 Apa yang ada di antara dua kurung ada dalam riwayat Al-Imam Ahmad. Lihat Musnad Al-Imam Ahmad (3/359).
21 Faedah: Pada asalnya perempuan tidak boleh dibunuh dalam peperangan, kecuali jika dia termasuk pasukan musyrikin yang ikut berperang. Maka tidak ada isykal dalam hadits ini karena dibunuhnya perempuan musyrik dalam perang Dzatur Riqa’. Boleh jadi karena dia masuk dalam barisan pasukan musyrikin, atau terbunuh tanpa disengaja. Demikian keterangan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah ketika mensyarah hadits ini.
22 Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (1/333) penulis memberikan faedah bahwa Al-Imam Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwah menyebutkan nama dua sahabat ini, yaitu ‘Ammar bin Yasir dari kalangan Muhajirin dan ‘Abbad bin Bisyr dari Anshar.
23 HR. Abu Dawud (No.198)
Di antara faedah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu yang bisa kita petik: (1) Hadits ini merupakan dalil bahwa darah (selain darah haid dan nifas) tidak najis (2) Keluarnya darah dengan sebab luka tidak membatalkan wudhu, sebagaimana sahabat Anshar terus melakukan shalat dalam keadaan darah mengalir (3) Menempuh sebab tidak menafikan tawakal, sebagaimana ditunjukkan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan sahabat untuk melakukan penjagaan (4) Shalat malam tidak disyaratkan harus tidur sebelumnya, sebagaimana shalatnya sahabat Anshar ini. Juga ditunjukkan oleh hadits wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu untuk shalat witir sebelum tidur. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
24 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih, kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwatu Dzatur Riqa’ (no. 4128) dan Muslim dalam Ash-Shahih, Kitab Al-Jihad was Sair, Bab Ghazwatu Dzatir Riqa’ (no.1816)
http://asysyariah.com/images/logo.gif

Berbaik Sangka Kepada Istri
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sakinah, Mengayuh Biduk, 02 - Mei - 2007, 18:47:39

Cemburu memang perlu, bahkan harus. Namun kita mesti memosisikan sikap itu secara proporsional. Jangan sampai, karena terbakar api cemburu, terlebih hanya karena dipicu kecurigaan yang tidak beralasan, justru menyulut persoalan yang jauh lebih besar. Makanya, membangun sikap saling percaya mesti menjadi langkah awal saat memasuki kehidupan rumah tangga.

Katanya, cemburu tandanya cinta. Namun cemburu disertai buruk sangka bisa berujung petaka. Karena terus menerus berburuk sangka atau bahasa Arabnya su`u zhan terhadap pasangan hidup bakal gonjang-ganjinglah rumah tangga. Namun tidaklah berarti bahwa seorang suami harus membuang rasa cemburunya sama sekali, melepas kendali yang membatasi dan membuka benteng yang menutupi, sehingga setiap orang bebas keluar masuk menemui istrinya dan bebas bersamanya. Sungguh tidaklah pantas yang demikian itu. Bahkan suami seperti itu dikatakan dayyuts, yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:

ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوْثُ

“Tiga golongan manusia yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki , dan dayyuts.” (HR. An-Nasa`I no. 2562, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 673, 674)
Dalam riwayat Al-Imam Ahmad rahimahullah (2/127) disebutkan dengan lafadz:

ثَلاَثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللهُُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، وَالدَّيُّوْثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخُبْثَ

“Tiga golongan manusia yang Allah Tabaraka wa Ta’ala mengharamkan surga bagi mereka, yaitu pecandu khamr, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dan dayyuts yang membiarkan kefasikan dan kefajiran dalam keluarganya .”
Pengertian dayyuts sendiri adalah seorang lelaki/suami yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarga/istrinya. Demikian diterangkan Ibnul Atsir rahimahullah dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadits (bab Ad-Dal ma’al Ya`).
Karena tidak ada rasa cemburu tersebut, ia membiarkan perbuatan keji terjadi di tengah keluarganya. Istrinya dibiarkan bebas keluar rumah tanpa berhijab. Ia malah bangga bila kecantikan dan penampilan istrinya ditonton banyak orang. Para lelaki pun dibiarkan dengan leluasa berbicara dan bercengkerama dengan istrinya. Hingga akhirnya si istri berselingkuh karena ia sendiri yang membukakan pintu… Kita mohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kekejian tersebut.
Dari penjelasan di atas, tahulah kita bahwa cemburu atau ghirah kepada istri justru perkara yang terpuji dan dituntut, di mana dengan perasaan ini seorang suami menjaga istrinya agar tidak jatuh dalam perbuatan nista dan dosa. Namun cemburu di sini janganlah disertai dengan su`u zhan, sehingga seorang suami selalu tajassus, memata-matai sang istri, selalu penuh curiga dan memandang dengan tatapan menuduh. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam Tanzil-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari zhan/prasangka, karena sebagian zhan/prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kalian memata-matai…” (Al-Hujurat: 12)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas: “Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari kebanyakan zhan, yaitu tuduhan dan anggapan berkhianat yang tidak pada tempatnya kepada keluarga/istri, karib kerabat, dan manusia. Karena sebagian dari prasangka tak lain merupakan dosa. Karena itu, jauhilah kebanyakan dari prasangka demi kehati-hatian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, hal. 1303)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَجَسَّسُوا...

“Hati-hati kalian dari zhan/prasangka, karena zhan/prasangka itu adalah sedusta-dusta ucapan. Dan janganlah kalian memata-matai sesama kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 6482)
Zhan yang dilarang dalam ayat di atas dan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah su`u zhan (prasangka buruk) di mana hukumnya haram. Karena itulah, hadits di atas oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarah/penjelasannya terhadap Shahih Muslim diberi judul bab: Tahrimuzh Zhan wat Tajassus wat Tanafus wat Tanajusy wa Nahwiha (haramnya zhan, tajassus, tanafus, tanajusy dan semisalnya).
Al-Khaththabi rahimahullah berkata: "Zhan yang dilarang adalah zhan yang direalisasikan dan dibenarkan, bukan zhan yang sekedar terlintas dalam jiwa. Karena zhan seperti ini tidak dapat dikuasai (datang tiba-tiba tanpa dikehendaki).”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Yang dimaksudkan oleh Al-Khaththabi dengan zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menerus ada pada seseorang, menetap dalam hatinya. Bukan zhan yang sekedar melintas dalam hati dan tidak menetap di dalamnya karena zhan seperti ini tidak bisa dikuasai, datang begitu saja, sebagaimana telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kesalahan yang terjadi pada umat ini selama mereka tidak membicarakannya atau bersengaja melakukannya.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 16/335)
Su`u zhan yang bersarang dalam hati akan membawa seseorang untuk mengucapkan sesuatu yang tidak pantas dan melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Adapun tajassus adalah mencari-cari aurat/aib dan cela seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita untuk mencari-cari kesalahan seorang muslim. Namun biarkanlah dia di atas keadaannya. Tutuplah mata dari sebagian keadaannya yang kalau kita periksa dan kita cari-cari niscaya akan tampak darinya perkara yang tidak pantas. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 801)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Zhan di sini adalah semata-mata tuduhan tanpa sebab. Seperti seseorang menuduh orang lain berbuat fahisyah (perbuatan keji seperti zina) sementara tidak tampak baginya bukti tuduhannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan zhan agar setiap mukmin memeriksa terlebih dahulu setiap zhannya, hingga ia mengetahui apa alasannya berprasangka demikian.” (Fathul Qadir, 5/78)

Baik Sangka tanpa Melepas Penjagaan
Berbaik sangka atau bahasa Arabnya husnuzhan merupakan perkara yang disenangi. Baik sangka kepada karib kerabat, tetangga dan kaum mukminin secara umum. Dan tentunya masuk dalam pembahasan kita di sini adalah baik sangka kepada istri dan tidak mencari-cari kesalahannya. Dengan demikian, cemburu bukan alasan untuk tidak berbaik sangka, selama tidak ada sebab yang pasti untuk mengalihkan husnu zhan tersebut menjadi su`u zhan. Sekali lagi, selama tidak ada alasan ataupun sebab yang pasti! Namun baik sangka pun tidak berarti tidak memberikan batasan. Bahkan yang diinginkan agar dilakukan oleh seorang suami adalah menjaga istrinya dengan memberikan “rambu-rambu” kepadanya.
Dikisahkan:

أَنَّ نَفَرًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوْا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهِيَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ، فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: لَمْ أَرَ إِلاَّ خَيرًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ قَدْ بَرَأَهَا مِنْ ذَلِكَ. ثُمَّ قاَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلاَّ وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ

“Ada sekelompok orang dari kalangan Bani Hasyim masuk ke tempat Asma` bintu ‘Umais radhiyallahu ‘anha. Lalu masuklah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, ketika itu Asma` telah menjadi istrinya . Abu Bakr pun tidak suka melihat orang-orang tersebut masuk ke tempat istrinya. Diceritakanlah hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar pengaduan Abu Bakr tersebut, beliau bersabda: ‘Aku tidak melihat kecuali kebaikan.’ Beliau juga bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah menyucikan/melepaskan Asma` dari prasangka yang tidak benar.’ Kemudian beliau naik ke atas mimbar seraya bersabda: ‘Setelah hariku ini, sama sekali tidak boleh ada seorang pun lelaki yang masuk ke tempat mughibah kecuali bila bersama lelaki itu ada satu atau dua orang yang lain.” (HR. Muslim no. 5641)
Tampak dalam hadits di atas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan untuk berbaik sangka kepada istri bila memang tidak ada yang perlu diragukan dari dirinya. Namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan aturan agar seorang lelaki tidak masuk ke tempat wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah. Aturan ini dimaksudkan sebagai penjagaan agar tidak timbul zhan dan hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan peringatan kepada lelaki:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ. يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian masuk ke tempat wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim)

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita terkecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim)
Tujuan diberikannya peringatan seperti ini antara lain untuk menjaga dan menghindarkan dari perkara-perkara yang tidak sepantasnya. Dengan mematuhi aturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini berarti kita tidak membiarkan satu celah pun bagi setan untuk melemparkan was-was ke dalam hati. Karena keraguan dan was-was terhadap pasangan hidup akan menghancurkan keluarga dan meruntuhkan rumah tangga. Sebelum menutup pembahasan, kita kembali dahulu kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلاَ تَجَسَّسُوا...

“Dan janganlah kalian memata-matai…” (Al-Hujurat: 12)
Juga pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلاَ تَجَسَّسُوا...

“Dan janganlah kalian memata-matai sesama kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 6482)
Larangan untuk melakukan tajassus dalam ayat dan hadits yang mulia di atas juga ditujukan kepada pasangan suami istri. Istri tidak boleh melakukan tajassus terhadap suaminya, dan sebaliknya suami pun tak sepantasnya melakukan tajassus terhadap keluarganya guna menangkap basah kesalahan yang dilakukan istrinya, mencari-cari celah untuk menyalahkan serta menyudutkannya, atau sekedar membuktikan kecemburuan yang tidak beralasan. Karena ketidakbolehan mencari-cari kesalahan ini, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan kepada para suami yang sekian lama berada di rantau atau safar keluar kota agar tidak mendadak pulang ke keluarga mereka tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, apalagi datang tiba-tiba di waktu malam. Shahabat yang mulia Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ طُرُوْقًا

“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila seorang lelaki/suami mendatangi keluarga/istrinya (dari safar yang dilakukannya) pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 5243)
Larangan ini dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً

“Apabila salah seorang kalian sekian lama pergi meninggalkan rumah (safar) maka janganlah ia pulang (kembali) kepada keluarganya pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 5244)
Dua hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya: bab La Yathruq Ahlahu Idza Athalal Ghaibah Makhafatan An Yukhawwinahum Au Yaltamisu ‘Atsaratihim, artinya: Tidak boleh seseorang mendatangi keluarga/istrinya, bila ia sekian lama meninggalkan rumah (bepergian/safar) karena khawatir menganggap mereka tidak jujur/berkhianat atau mencari-cari kesalahan/ketergeliciran mereka.
Larangan tersebut dikaitkan dengan pulang dari bepergian yang lama, karena seseorang yang meninggalkan keluarganya disebabkan suatu urusan di waktu siang dan akan kembali pada waktu malam (pergi cuma sebentar/tidak lama) tidak akan mendapatkan perkara yang mungkin didapatkan oleh seseorang yang sekian lama bepergian meninggalkan keluarganya. Bila orang yang pergi sekian lama ini datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dikhawatirkan ia akan mendapatkan perkara yang tidak disukainya. Bisa jadi ia dapatkan istrinya tidak bersiap menyambut kedatangannya, belum membersihkan diri dan berhias/berdandan sebagaimana yang dituntut dari seorang istri. Sehingga hal ini akan menyebabkan menjauhnya hati keduanya . Bisa jadi pula ia dapatkan istrinya dalam keadaan yang tidak disukainya. Sementara, syariat ini menganjurkan untuk menutup kejelekan/cacat dan cela. Ketika ada seseorang menyelisihi larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ia pulang ke istrinya pada waktu malam tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ternyata ia mendapatkan ada seorang lelaki di sisi istrinya. Orang ini diberi hukuman seperti ini (berupa pengkhianatan istrinya) karena ia sengaja menyelisihi perintah Rasul. Kisahnya disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطْرَقَ النِّسَاءُ لَيْلاً، فَطَرَقَ رَجُلاَنِ كِلاَهُمَا وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para istri didatangi pada waktu malam (setelah si suami pulang dari bepergian yang lama tanpa pemberitahuan akan kepulangannya –pent.). Ternyata ada dua orang yang melanggar larangan ini. Keduanya pulang pada waktu malam dari bepergian lama (tanpa pemberitahuan), maka masing-masing dari keduanya mendapati bersama istrinya ada seorang lelaki.”
Yang perlu diperhatikan, larangan pulang kepada keluarga/istri di waktu malam setelah bepergian lama ini tidak berlaku atas orang yang terlebih dahulu menyampaikan kabar kedatangannya kepada keluarganya.
Dari hadits ini kita bisa memetik faedah tentang tidak disenanginya mempergauli istri dalam keadaan ia belum berbersih diri. Tujuannya agar si suami tidak mendapati perkara yang membuat hatinya “lari” dari sang istri. Dalam hadits ini juga ada anjuran untuk saling mengasihi dan mencintai, khususnya di antara suami istri. Walaupun secara umum suami istri sudah saling mengetahui kekurangan dan kelemahan masing-masing, namun syariat tetap menekankan untuk menghindarkan perkara-perkara yang bisa membuat hati keduanya saling berjauhan, yang pada akhirnya bisa melunturkan cinta… Sungguh ini tidaklah diharapkan!
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com
http://asysyariah.com/images/logo.gif

Jauhi Buruk Sangka
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sakinah, Mutiara Kata, 20 - Juni - 2008, 02:41:22

Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)
Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)
Dari hadits:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja1.” (Al-Minhaj, 16/335)
Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)
Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (An-Nur: 12)
Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Lafadz hadits yang dimaksud adalah:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)


Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com
http://www.asysyariah.com/images/logo.gif

Meluruskan Cara Pandang Terhadap Jihad
Penulis: Al Ustadz Abu Ubaidah Safruddin
Syariah, Kajian Utama, 02 - Maret - 2005, 05:10:36

“Pokok pangkal dari urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya yang tertinggi adalah jihad.” 1
Banyak manusia memandang amalan jihad tanpa dilandasi ilmu hingga menyebabkan banyak kekeliruan dan menambah peliknya persoalan. Yang paling parah adalah munculnya penyimpangan yang demikian jauh dari pengertian sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama.
Karena itu, banyak kita saksikan belakangan ini berbagai tindakan dan aksi tertentu yang langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat, namun oleh para pelakunya diklaim sebagai jihad. Padahal, Islam sama sekali tidak memerintahkan amalan tersebut. Sebagai contoh kecil, sikap suka mengkritisi atau mendiskreditkan pemerintah di depan umum. Bagi para demonstran dari kalangan hizbiyyin, sikap kritis terhadap pemerintah merupakan “menu wajib” yang harus dimiliki. Jadilah demonstrasi yang di dalamnya menjadi ajang untuk mencaci maki pemerintah sebagai bagian dari perjuangan mereka yang tidak terlewatkan. Mereka akan menganggap orang-orang yang memiliki sikap berseberangan dengan mereka sebagai penjilat ataupun kaki tangan pemerintah. Bahkan tak jarang mereka menganggap orang yang suka mendoakan kebaikan untuk pemerintah sebagai budak pemerintah.
Begitupun dengan amalan lain, seperti melakukan pengeboman terhadap tempat-tempat ibadah orang kafir, membunuh orang-orang kafir dengan bom bunuh diri ataupun merusak fasilitas-fasilitas orang asing yang ada (tanpa melihat hukum syar’i). Semua tindak kedzaliman ini mereka anggap sebagai jihad, yang tidak akan muncul sikap demikian bila mereka memahami makna jihad secara benar.

Definisi Jihad
Kata Al-Jihad (الْجِهاَدُ) dengan dikasrah huruf jim asalnya secara bahasa bermakna (الْمَشَقَّةُ) yang bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan.
Sedangkan secara syar’i bermakna: “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir atau musuh.” (Lihat Fathul Bari, 6/5; Nailul Authar, 7/208; Asy-Syarhul Mumti’, 8/7)
Berikut beberapa ucapan Ulama Salaf dalam memaknai Al-Jihad.
- Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “(Jihad adalah) mencurahkan kemampuan padanya dan tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.”
- Muqatil rahimahullah berkata: “Beramallah kalian karena Allah dengan amalan yang sebenar-benarnya dan beribadahlah kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya.”
- Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata:“(Jihad adalah) melawan diri sendiri dan hawa nafsu.” (Zaadul Ma’ad, 3/8)
Dalam tinjauan syariat Islam (pengertian secara umum), jihad juga diistilahkan kepada mujahadatun nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy syaithan (jihad melawan syaithan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan mujahadatul munafikin (jihad melawan kaum munafik).

Disyariatkannya Jihad dan hukumnya
Dalam permasalahan jihad, pada dasarnya manusia terbagi dalam dua keadaan:
1. Keadaan mereka pada masa kenabian
2. Keadaan mereka setelah kenabian

Masa Kenabian
Para ulama sepakat bahwa disyariatkannya jihad pertama kali ialah setelah hijrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah. Setelah itu muncul perselisihan di antara mereka tentang hukumnya, fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Di dalam Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ulama. (Pertama adalah pendapat dari) Al-Mawardi, dia berkata: “(Hukumnya) fardhu ‘ain bagi orang-orang Muhajirin saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan perkara tentang wajibnya hijrah atas setiap muslim ke Madinah dalam rangka menolong Islam. (Kemudian) As-Suhaili, dia berkata: “Fardhu ‘ain atas orang-orang Anshar saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan baiat para shahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam Al-Aqabah untuk melindungi dan menolong Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari dua pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain atas dua thaifah (kelompok, red. Yakni Muhajirin dan Anshar) dan fardhu kifayah atas selain mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dan kalangan Asy-Syafi’iyyah sepaham dengannya lebih menguatkan pendapat yang menyatakan fardhu kifayah (bagi kalangan Muhajirin maupun Anshar-ed). Beliau berhujjah bahwa dalam peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada para shahabat yang ikut dan ada pula yang tidak. Kemudian, walaupun jihad menjadi kewajiban atas orang-orang Muhajirin dan Anshar, namun kewajiban ini tidak secara mutlak.
Sebagian berpendapat, jihad (hukumnya) wajib ‘ain dalam peperangan yang di dalamnya ada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan (wajib ‘ain) pada selainnya. Yang benar dalam hal ini ialah, jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dipilih (ditunjuk) oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia tidak keluar ke medan tempur.

Masa setelah Kenabian
Pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi adalah fardhu kifayah, kecuali jika ada keadaan mendesak, seperti ada musuh yang datang dengan tiba-tiba. Ada pula yang berkata, fardhu ‘ain bagi yang ditunjuk oleh imam (penguasa). Sebagian juga berpendapat wajib selama memungkinkan, dan pendapat ini cukup kuat. Namun yang nampak dalam masalah ini adalah jihad terus-menerus berlangsung pada jaman kenabian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sempurnanya perluasan (ekspansi) ke beberapa negara besar dan Islam menyebar di muka bumi, kemudian setelah itu hukumnya seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kesimpulan dari masalah ini adalah, jihad melawan orang kafir menjadi kewajiban atas setiap muslim baik dengan tangan (kekuatan), lisan, harta atau dengan hatinya, wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/47; Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13/12)
Berikut beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan tentang disyariatkannya jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

انْفِرُوا خِفَافاً وَثِقاَلاً وَجاَهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau berat. Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.” (At-Taubah: 41)

يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)

وَجاَهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj: 78)

فَلاَ تُطِعِ الْكاَفِرِيْنَ وَجاَهِدْهُمْ بِهِ جِهاَداً كَبِيْراًً

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52)

يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada Yaumul Fath (Fathu Makkah): “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, akan tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Dan apabila kalian diminta untuk pergi atau berangkat berperang maka pergilah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafidz rahimahullah berkata: “Pada hadits ini terdapat berita gembira bahwa kota Mekkah akan tetap menjadi negeri Islam selamanya. Di dalamnya juga terdapat dalil tentang fardhu ‘ainnya keluar dalam perang (jihad) bagi orang yang dipilih oleh imam.” (Fathul Bari, 6/49)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Apabila imam (penguasa) memerintahkan kepada kalian untuk berjihad, maka keluarlah. Hal ini menunjukkan bahwa jihad bukanlah fardhu ‘ain, akan tetapi fardhu kifayah. Apabila sebagian telah menunaikannya, gugurlah kewajiban yang lain. Dan jika tidak ada yang melakukannya sama sekali, berdosalah mereka. Dari kalangan Asy-Syafi’iyyah berpendapat tentang jihad di masa sekarang hukumnya fardhu kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Dan jika mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup, wajib bagi negeri yang bersebelahan untuk membantunya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/11-12)
Setelah diketahui bahwa pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi tentang hukum jihad pada masa setelah kenabian adalah fardhu kifayah, berikut adalah beberapa keadaan yang menjadikan hukum tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain, di mana sebagiannya telah disebut di atas:
1. Apabila bertemu dengan musuh yang sedang menyerang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِذاَ لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا زَحْفاً فَلاَ تُوَلُّوْهُمُ اْلأَدْباَرَ. وَمَنْ يٌوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفاً لِقِتاَلٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
Ayat ini menjelaskan tentang tidak bolehnya seseorang mundur atau berpaling dari menghadapi musuh. Karena yang demikian termasuk perkara terlarang dan tergolong dalam perkara yang membawa kepada kehancuran/ kebinasaan sehingga wajib untuk dijauhi. Sebagaimana yang disebut dalam sebuah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran atau kebinasaan.” Para shahabat bertanya: “Apakah ketujuh perkara itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot/ berpaling (desersi) dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina kepada wanita yang terjaga dari perbuatan dosa, tidak tahu-menahu dengannya (yakni dengan perbuatan zina tersebut-ed) dan (ia adalah wanita yang-ed) beriman kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dua hal yang diperbolehkan bagi seseorang untuk berpaling (mundur) ketika bertemu dengan musuh:
a. Berpaling dalam rangka mendatangkan kekuatan yang lebih besar atau siasat perang.
b. Berpaling dalam rangka menggabungkan diri dengan pasukan lain untuk menghimpun kekuatan.

2. Apabila negerinya dikepung oleh musuh. (Dalam keadaan ini) wajib atas penduduk negeri tersebut untuk mempertahankan negerinya. Keadaan ini serupa dengan orang yang berada di barisan peperangan. Sebab apabila musuh telah mengepung suatu negeri, tidak ada jalan lain bagi penduduknya kecuali untuk membela dan mempertahankannya. Dalam hal ini musuh juga akan menahan penduduk negeri tersebut untuk keluar dan mencegah masuknya bantuan baik berupa personil, makanan dan yang lainnya. Karena itu wajib atas penduduk negeri untuk berperang melawan musuh sebagai bentuk pembelaan terhadap negerinya.
3. Apabila diperintah oleh imam. Apabila seseorang diperintah oleh imam untuk berjihad, hendaknya ia mentaatinya. Imam dalam hal ini ialah pemimpin tertinggi negara dan tidak disyaratkan ia sebagai imam secara umum bagi kaum muslimin semuanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا ماَ لَكُمْ إِذاَ قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ أَرَضِيْتُمْ بِالْحَياَةِ الدُّنْياَ مِنَ اْلآخِرَةِ فَماَ مَتاَعُ الْحَياَةِ الدُّنْياَ فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ قَلِيْلٌ. إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَاباً أَلِيْماً وَيَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ وَلاَ تَضُرُّوْهُ شَيْئاً وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini di bandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 38-39)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha dan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian diminta untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan.
Misal dalam hal ini, kaum muslimin memiliki senjata berat seperti artileri, pesawat, atau teknologi tempur lainnya, namun tidak ada yang mampu mengoperasikannya kecuali seseorang. Maka menjadi fardhu ‘ain atas orang tersebut dengan sebab ia dibutuhkan.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, jihad menjadi fardhu ‘ain pada empat perkara:
1. Apabila bertemu dengan musuh
2. Apabila negerinya dikepung musuh
3. Apabila diperintah oleh imam
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan

Pembagian Jihad
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah membagi jihad menjadi tiga:
1. Jihadun Nafs, yaitu menundukkan jiwa dan menentangnya dalam bermaksiat kepada Allah. Berusaha menundukkan jiwa untuk selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan melawan seruan untuk bermaksiat kepada Allah. Jihad yang seperti ini tentunya akan terasa sangat berat bagi manusia, lebih-lebih saat mereka tinggal di lingkungan yang tidak baik. Karena lingkungan yang tidak baik akan melemahkan jiwa dan mengakibatkan manusia jatuh ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah, juga meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya.
2. Jihadul Munafiqin, yaitu melawan orang-orang munafiq dengan ilmu dan bukan dengan senjata. Karena orang-orang munafiq tidak diperangi dengan senjata. Para shahabat pernah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membunuh orang-orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya, kemudian beliau bersabda: “Jangan, supaya tidak terjadi pembicaraan oleh orang, bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.” (HR. Muslim, dari shahabat Jabir radhiallahu 'anhu)
Jihad melawan mereka adalah dengan ilmu. Oleh karena itu wajib atas kita semua untuk mempersenjatai diri dengan ilmu di hadapan orang-orang munafiq yang senantiasa mendatangkan syubhat terhadap agama Allah untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah. Jika pada diri manusia tidak ada ilmu, maka syubhat, syahwat, dan perkara bid’ah yang datang terus-menerus (akan bisa merusak dirinya), sementara ia tidak mampu menolak dan membantahnya.
3. Jihadul Kuffar, yaitu memerangi orang-orang kafir yang menentang, yang memerangi kaum muslimin, dan yang terang-terangan menyatakan kekafirannya, (dan jihad ini dilakukan) dengan senjata. (Asy-Syarhul Mumti’, 8/7-8)
Ibnul Qayyim rahimahullah membagi jihad menjadi empat bagian:
1. Jihadun Nafs (Jihad melawan diri sendiri)
2. Jihadusy Syaithan (Jihad melawan syaithan)
3. Jihadul Kuffar (Jihad melawan kaum kuffar)
4. Jihadul Munafiqin (Jihad menghadapi kaum munafiqin)
Setiap bagian di atas, masing-masing memiliki tingkatan-tingkatan. Jihadun Nafs memiliki empat tingkatan:
a. Berjihad melawan diri sendiri dengan cara mempelajari kebenaran dan agama yang hak, di mana tidak ada kebahagiaan dan kemenangan dunia dan akhirat kecuali dengannya, dan bila terluputkan darinya akan mengakibatkan sengsara.
b. Berjihad melawan diri sendiri dengan mengamalkan ilmu yang dipelajari. Karena jika hanya sekedar ilmu tanpa amal, akan memberi mudharat kepada jiwa atau tidak akan ada manfaat baginya.
c. Berjihad melawan diri sendiri dengan mendakwahkan ilmu yang telah dipelajari dan diamalkannya, mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui. Jika tidak demikian, ia akan tergolong ke dalam orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tidaklah bermanfaat serta tidak menyelamatkannya dari adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala.
d. Berjihad melawan diri sendiri dengan bersikap sabar ketika mendapatkan ujian dan cobaan, baik saat belajar agama, beramal dan berdakwah. Barangsiapa telah menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan tegolong orang-orang yang Rabbani (pendidik). Karena para ulama Salaf sepakat bahwa seorang alim tidak berhak diberi gelar sebagai ulama yang Rabbani, sampai ia mengetahui Al-Haq, mengamalkan serta mengajarkannya. Barangsiapa yang berilmu, mengamalkan dan mengajarkannya, ia akan diagungkan di hadapan para malaikat yang berada di langit.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadun nafs ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Fudhalah bin ‘Ubaid, beliau bersabda bersabda:
“Yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan (menundukkan) dirinya sendiri di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan yang lain, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihul Musnad (2/156) dan kitab Al-Jami’ Ash-Shahih (3/184).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Ketika jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berada di luar diri sendiri (syaithan, kaum kuffar, dan munafikin) merupakan cabang dari jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad lainnya. Karena barangsiapa yang tidak mengawali dalam berjihad melawan diri sendiri dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan Allah, tidak mungkin baginya untuk dapat berjihad melawan musuh yang datang dari luar. Bagaimana dia mampu berjihad melawan musuh dari luar, sementara musuh yang datang dari dirinya sendiri dapat menguasai dan mengalahkannya?”
Jihadusy Syaithan, ada dua tingkatan:
a. Berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan oleh syaithan kepada manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman.
b. Berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan syahwat. Dari dua tingkatan ini, untuk tingkatan pertama barangsiapa yang mampu mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Dan tingkatan yang kedua akan membuahkan kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَجَعَلْناَ مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِناَ لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآياَتِناَ يُوْقِنُوْنَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimipin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya akan diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan. Sabar akan menolak syahwat dan kehendak buruk, adapun keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadusy syaithan, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّ الشَّيْطاَنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Perintah Allah dalam ayat ini agar menjadikan syaithan sebagai musuh, menjadi peringatan akan adanya keharusan mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi syaithan, berjihad melawannya. Karena syaithan itu bagaikan musuh yang tidak mengenal putus asa, lesu, dan lemah dalam memerangi dan menggoda seorang hamba dalam selang beberapa nafas.” (Zaadul Ma’ad, 3/6)
Jihadul Kuffar wal Munafiqin ada empat tingkatan:
a. Berjihad dengan hati
b. Berjihad dengan lisan
c. Berjihad dengan harta
d. Berjihad dengan jiwa
Dalil yang menjelaskan tentang bagian ketiga dan keempat ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
Jihad melawan kaum kuffar lebih dikhususkan dengan tangan (kekuatan), sedangkan melawan kaum munafiq lebih dikhususkan dengan lisan.
Bagian berikutnya, adalah jihad melawan kedzaliman, bid’ah, dan kemungkaran. Terdapat tiga tingkatan:
a. Berjihad dengan tangan apabila mampu, jika tidak maka berpindah kepada yang berikutnya
b. Berjihad dengan lisan, jika tidak mampu berpindah kepada yang berikutnya
c. Berjihad dengan hati
Dalil yang menjelaskan tentang bagian akhir ini adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melihat kemungkaran hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari semua tingkatan dalam jihad yang tersebut di atas, terkumpullah tiga belas tingkatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Barangsiapa yang meninggal dan belum berperang serta tidak pernah terbersit (cita-cita untuk berperang) dalam dirinya, (maka ia) meninggal di atas satu bagian dari nifaq.” (HR. Muslim)
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, tidak sempurna jihad seseorang kecuali dengan hijrah. Dan tidak akan ada hijrah dan jihad kecuali dengan iman. Orang-orang yang mengharap rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah yang mampu menegakkan tiga hal tersebut, yaitu iman, hijrah, dan jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharap rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 218)
Sebagaimana iman merupakan kewajiban atas setiap orang, maka wajib atasnya pula untuk melakukan dua hijrah pada setiap waktunya, yaitu hijrah kepada Allah dengan (amalan) tauhid, ikhlas, inabah, tawakkal, khauf, raja’, mahabbah dan hijrah kepada Rasul-Nya dengan (amalan) mutaba’ah, menjalankan perintahnya, membenarkan segala berita yang datang darinya, dan mengedepankan perkara dan berita yang datang dari beliau atas selainnya.
Manusia yang paling sempurna di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala ialah yang menyempurnakan seluruh tingkatan jihad di atas. Mereka berbeda-beda tingkatannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesuai dengan penempatan diri mereka terhadap tingkatan jihad tersebut. Oleh karena itu, manusia yang paling sempurna dan mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena beliau telah menyempurnakan seluruh tingkatan jihad yang ada dan beliau telah berjihad dengan jihad yang sebenar-benarnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan jihad sejak awal diutus hingga wafatnya, baik dengan tangan, lisan dan hati serta hartanya. (Zaadul Ma’ad, 3/9-11)
Wallahu a’lam.

1 Isyarat kepada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku beritahukan kepadamu tentang pokok pangkal dari semua urusan, tiangnya dan puncaknya yang tertinggi?” Aku berkata: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Pokok pangkal dari urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya yang tertinggi adalah jihad.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)
http://asysyariah.com/images/logo.gif

Amal Termasuk Bagian dari Iman
Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
Syariah, Hadits, 20 - Juni - 2007, 10:33:03

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِي قَالَ: .... وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا ليِ قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيْبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُوْنَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظََّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ أَعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِي بِهَا. فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَناَ؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ :أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu 'anhu dia berkata: “… Aku memiliki seorang budak perempuan yang menggembalakan kambingku di arah Uhud dan Al-Jawwaniyyah. Pada suatu hari, aku dapati seekor serigala telah membawa lari salah satu dari kambing-kambing yang digembalakannya. Dan aku salah seorang dari Bani Adam (manusia biasa), yang dapat marah sebagaimana mereka marah. Aku lantas menamparnya, kemudian aku menghadap Rasulullah, karena perkara itu telah membebaniku.
Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tidakkah saya membebaskannya?” Beliau bersabda: “Bawa dia kepadaku.” Akupun membawanya. Lalu beliau bertanya kepadanya: “Di manakah Allah?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya: “Siapakah aku?” dia menjawab: “Engkau adalah Rasulullah.” Lalu beliau bersabda: “Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 537, Kitabul Masajid, Bab Tahrimul Kalam fis Shalah wa Naskhi ma kana min Ibahatin), Al-Imam Abu Dawud (no. 930, Kitabus Shalah, Bab Tasymiyatul ‘athis fis shalah), dan Al-Imam An-Nasa`i (no. 1217, Kitab As-Sahw Bab Al-Kalam fis shalah).
Hadits di atas merupakan potongan dari sebuah hadits yang panjang, dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu 'anhu. Ia berkata: “Tatkala aku sedang shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba-tiba ada salah seorang yang bersin (dalam keadaan shalat). Akupun berkata: ‘Yarhamukallah!’ Orang-orang pun memandangiku. Aku berkata: ‘Wa tsukla ummiyah!1’ Kenapa kalian memandangiku (seperti itu)?’
Kemudian mereka menepuk-nepukkan kedua tangannya di atas pahanya. Ketika aku melihat bahwa mereka (berbuat demikian) supaya aku diam, maka akupun diam. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai dari menjalankan shalat, aku berkata: ‘Bi abi huwa wa ummi! Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang pengajar yang terbaik dalam memberikan pengajaran daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukul dan tidak pula memaki. Beliau hanya berkata: ‘Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada di dalamnya suatu ucapan apapun dari ucapan manusia. Yang diperbolehkan hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur`an.’ Atau sebagaimana sabda Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian aku berkata: ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya saya baru saja meninggalkan masa kejahiliahan dan Allah menggantikannya dengan mendatangkan agama Islam. Sebagian kami (sebelum Islam datang) mendatangi dukun!’
Beliau bersabda: ‘Janganlah kalian mendatangi mereka.’
Aku kembali mengutarakan: ‘Sebagian kami ada yang ber-tathayyur (meyakini kesialan karena burung tertentu)!’
Beliau bersabda: ‘Itu adalah perkara yang mereka dapati dalam dada mereka, janganlah perkara itu memalingkan kalian (menghalangi kalian dari beraktivitas).”
Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami berkata: “Aku memiliki seorang budak perempuan yang menggembalakan kambing-kambingku di arah Uhud dan Al-Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku dapati seekor serigala telah membawa lari salah satu dari kambing-kambing yang digembalakannya. Dan aku seorang dari Bani Adam, yang dapat marah sebagaimana mereka marah. Aku lantas menamparnya, kemudian aku menghadap Rasulullah, karena perkara itu telah membebaniku.
Aku bertanya: ‘Ya Rasulullah, tidakkah saya membebaskannya?’
Beliau bersabda: ‘Bawalah dia kepadaku.’ Akupun membawanya, lalu beliau bertanya kepadanya: ‘Di manakah Allah?’ Dia menjawab: ‘Di atas langit.’ Beliau bertanya: ‘Siapakah aku?’ Dia menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Lalu beliau bersabda: ‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman’.” (lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, 5/23-27)
Hadits ini dipahami secara salah oleh kaum Murji`ah untuk membenarkan pemikiran mereka dalam perkara iman. Menurut mereka, iman adalah pembenaran dengan hati dan ucapan dengan lisan, tidak perlu amalan. Sisi pendalilannya adalah pernyataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman,” yaitu sekedar ucapan tanpa amalan sudah dinyatakan sebagai seorang yang beriman.
Untuk menjawab perkara ini ada beberapa jawaban:
Pertama: Al-Imam Ahmad, Al-Khaththabi, dan Ibnu Taimiyyah berkata: “Pengikraran jariyah (budak) ini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas, Muhammad adalah Rasulullah, merupakan jawaban atas pertanyaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana pertanyaan beliau ini berkaitan dengan tanda-tanda keimanan dan alamat bagi ahlinya. Dan bukan pertanyaan tentang perkara prinsip keimanan, sifat, dan hakikatnya.
Kedua: Terdapat pada sebagian riwayat bahwa Nabi tidak mencukupkan (meridhai) dari jariyah ini hingga beliau bertanya: “Apakah kamu beriman dengan perkara yang demikian dan demikian? Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah?” Ia menjawab: “Ya.”
“Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Ia menjawab: “Ya.”
“Apakah kamu beriman dengan hari kebangkitan?” Ia menjawab: “Ya.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Bebaskan dia dari perbudakan.”
Ketiga: Kemungkinan kejadian ini terjadi sebelum turunnya perkara-perkara yang sifatnya fardhu.
Telah menjadi kesepakatan ulama Ahlus Sunnah dahulu maupun sekarang bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Maksud iman adalah ucapan dan perbuatan, adalah bahwa ucapan hati dan ucapan lisan, perbuatan hati dan perbuatan lisan akan bertambah dengan menjalankan ketaatan dan akan berkurang dengan melakukan kemaksiatan. Berbeda dengan kaum Murji`ah yang menyatakan bahwa iman hanyalah i’tiqad (keyakinan) dan ucapan dengan lisan saja.
Ishaq bin Ibrahim bin Hani berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata: ‘Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang’.”
Pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullahu bahwa iman itu bertambah dan berkurang maknanya adalah seperti yang ditanyakan oleh putra beliau yaitu Shalih. Ia berkata: “Aku bertanya kepada ayahku, apa itu makna bertambah dan berkurangnya iman?” Beliau menjawab: “Bertambahnya iman adalah dengan adanya amalan, berkurangnya adalah dengan meninggalkan amalan, seperti meninggalkan shalat, zakat, dan haji.”
Pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam mendefinisikan iman merupakan pendapat keumuman atau mayoritas ulama Salaf, bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Para ulama Salaf memandang bahwa iman adalah ungkapan dari tiga perkara ini. Mereka menganggap pembenaran dengan hati dan ucapan dengan lisan merupakan pokok perkara iman, adapun perbuatan merupakan cabang dari iman.
Oleh karenanya, mereka tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar dan tidak menghukumi mereka sebagai penghuni neraka selama-lamanya, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Mu’tazilah. Dan yang telah menukil kesepakatan para ulama (ijma’) dalam mendefinisikan iman (seperti tersebut di atas) adalah Abu ‘Ubaid Al-Qasim ibnu Salam, Asy-Syafi’i, Al-Bukhari, Al-Lalika`i, dan Al-Baghawi, Ibnu Abdil Barr dan selain mereka. (lihat Al-Masa`il war Rasa`il Al-Marwiyah ‘an Al-Imam Ahmad bin Hanbal, 1/63-67)
Tatkala beliau menyatakan dalil yang menunjukkan bahwa amalan masuk dalam penamaan iman, beliau berkata dengan menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ
“Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (Al-Baqarah: 143)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan shalat mereka sebagai perkara iman, maka shalat termasuk dari perkara iman.”
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu, beliau berkata: “Aku menjumpai lebih daripada 1.000 orang dari kalangan ulama di berbagai daerah (negeri). Tidaklah aku melihat seorang pun yang berselisih bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”
Ar-Rabi’ berkata: Aku mendengar Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” Pada riwayat yang lain terdapat tambahan: “Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.”
Kemudian beliau membaca ayat:
وَيَزْدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِيْمَانًا
“Dan agar bertambah keimanan orang-orang yang beriman.” (Al-Muddatstsir: 31) [Lihat Fathul Bari, 1/62-63]
Sebagian ahlul ilmi menyatakan, manusia terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: Sabiqun bil khairat, yaitu orang yang mengerahkan segenap kemam-puannya untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala baik yang wajib maupun yang mustahab, serta menjauhi larangan-Nya.
Kedua: Muqtashid, yaitu orang yang hanya mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram saja.
Ketiga: Zhalim linafsih, yaitu orang yang mencampurkan amalan baik dengan amalan buruk.
Kelompok yang pertama lebih sempurna imannya ketimbang yang kedua, dan yang kedua lebih sempurna ketimbang yang ketiga.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Dari pembahasan ini terdapat beberapa pendapat ulama Salaf dan imam-imam As-Sunnah dalam menafsirkan iman. Kadang mereka berkata, ‘iman adalah ucapan dan perbuatan’, terkadang menyatakan, ‘iman adalah ucapan perbuatan dan niat’, terkadang menyatakan ‘iman adalah ucapan, perbuatan, niat, dan ittiba’ (mengikuti) As-Sunnah’, terkadang pula mengucapkan, ‘iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan’. Semua ungkapan itu benar adanya.
Adapun mereka yang menyatakan iman itu adalah ucapan dan amalan, maka termasuk di dalamnya adalah ucapan hati dan ucapan lisan. Inilah yang dipahami dari makna ‘ucapan’, jika disebut secara mutlak. Sehingga apabila ada seorang ulama salaf yang berkata iman adalah ucapan dan perbuatan, maka maknanya adalah ucapan dengan hati dan lisan, serta amalan hati dan anggota badan. Barangsiapa yang menambah lafadz i‘tiqad dalam mendefinisikan iman, memandang bahwa lafadz ‘ucapan’ tidaklah dipahami kecuali ucapan lahir saja. Atau ia mengkhawatirkan tidak dipahaminya adanya keyakinan hati sehingga ditambahlah dengan kata ‘keyakinan dalam hati’.
Sedangkan pendapat yang menyatakan iman adalah ucapan, perbuatan dan niat, maknanya adalah ucapan yang mengandung i‘tiqad dan ucapan lisan. Adapun lafadz ‘amal’ yang tidak dipahami niat darinya, ditambahlah dalam mendefinisikan iman dengan adanya niat. Bagi yang menambah ittiba’ (mengikuti) As-Sunnah, karena semua itu tidaklah dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan mengikuti As-Sunnah.
Kemudian, mereka tidaklah menghendaki makna ungkapan ‘iman berupa ucapan dan perbuatan’, bahwa maksudnya adalah seluruh ucapan dan perbuatan. Akan tetapi sebagai sanggahan terhadap kaum Murji`ah yang menyatakan bahwa iman itu ucapan semata. Oleh karenanya mereka (para ulama) berkata bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan. Adapun yang menjadikan iman itu empat macam, penafsirannya adalah sebagaimana yang ditanyakan kepada Sahl bin Abdillah At-Tusturi, tentang apakah iman itu. Beliau berkata: ‘Ucapan, perbuatan, niat dan As-Sunnah.’ Karena iman tanpa amal adalah kufur, iman berupa ucapan dan amalan tanpa adanya niat adalah nifaq (kemunafikan), iman berupa ucapan, amalan dan niat namun tanpa As-Sunnah berarti bid’ah.” (lihat Majmu’ Fatawa, 7/505-506)
Berikut fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Ifta` (Komite Tetap Urusan Fatwa) no. 21436, tanggal 8/4/1421 H:
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak ada nabi setelahnya. Komite Tetap Urusan Pembahasan Ilmiah dan Fatwa sungguh telah mempelajari apa yang telah sampai kepada yang mulia Al-Mufti ‘Aam (pemberi fatwa umum) Hai`ah Kibarul Ulama dari sejumlah peminta fatwa terkait permintaan fatwa mereka dengan amanah secara umum dengan no. 5411 tgl. 7/11/1420 H, no. 1026 tgl. 17/2/1421 H, no. 1016 tgl.7/2/1421H, no. 1395 tgl 25/3/1431 H, No.1650 tgl. 17/3/1421 H, No. 1893 tgl. 25/3/1421 H, No. 2106 tgl. 7/4/1421 H.
Para peminta fatwa telah menanyakan beberapa pertanyaan yang isinya:
“Pada akhir-akhir ini muncul pemikiran Murji`ah dalam bentuk yang menakutkan dan telah tersusun banyak kitab guna menyebarluaskan pemikirannya. Mereka bersandar kepada penukilan-penukilan yang sepenggal-sepenggal dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu yang menyebabkan banyak manusia terperangkap ke dalam istilah penamaan iman, di mana mereka yang menyebarkan pemikiran ini berusaha untuk mengeluarkan amal dari penamaan iman. Mereka berpendapat seseorang akan selamat meskipun ia meninggalkan semua amalan. Termasuk perihal yang memudahkan manusia jatuh ke dalam kemungkaran, perkara kesyirikan, perkara-perkara yang membuat seseorang menjadi murtad, jika mereka mengetahui bahwa iman mereka tetap benar walaupun tidak menunaikan kewajiban dan tidak menjauhi keharaman, walaupun mereka tidak mengerjakan syariat agama.
Berdasarkan madzhab ini, tidaklah diragukan lagi bahwa madzhab ini sangat berbahaya bagi masyarakat Islam dan bagi perkara-perkara aqidah serta ibadah.
Kami berharap kepada yang mulia untuk menjelaskan hakikat madzhab ini, pengaruhnya yang jelek, menjelaskan al-haq, yang dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, serta meluruskan penukilan dari Syaikhul Islam sehingga seorang muslim berada di atas hujjah yang nyata dari agamanya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq serta meluruskan langkah-langkah anda. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Setelah mempelajari permintaan fatwa tersebut, Al-Lajnah memberikan jawaban sebagai berikut:
“Ucapan yang disebutkan ini adalah ucapan Murjiah, yaitu orang-orang yang mengeluarkan (tidak menganggap) amalan-amalan dari definisi iman. Mereka berkata: ‘Iman itu pembenaran dengan hati atau pembenaran dengan hati dan pengucapan dengan lisan saja’. Adapun amal menurut mereka hanya sebagai syarat kesempurnaan iman dan bukan termasuk keimanan. Barangsiapa telah membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisannya, maka dia seorang mukmin yang sempurna imannya menurut mereka, walaupun berbuat sekehendaknya berupa meninggalkan kewajiban dan mengerjakan perkara yang haram. Seseorang berhak masuk ke dalam jannah (surga) walaupun belum pernah berbuat kebaikan sama sekali.
Kesesatan tersebut membawa konsekuensi yang batil. Di antaranya, membatasi kekufuran hanya kepada kufur takdzib (mendustakan agama) dan istihlal qalbi (menghalalkan apa yang diharamkan).
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah ucapan yang batil dan kesesatan yang nyata, menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah dan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dahulu maupun sekarang. Perkara ini sesungguhnya akan membuka peluang bagi pelaku keburukan dan kejahatan untuk melepaskan diri dari agama dan tidak merasa terkait dengan perintah, larangan, rasa takut dan khasyah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia akan menolak jihad fi sabilillah, amar ma’ruf nahi munkar. Dia akan menyamakan antara orang yang shalih dengan orang yang jahat, yang taat dengan yang bermaksiat, yang istiqamah di atas agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang fasiq yang lepas dari perintah dan larangan agama. Hal ini bila amalan-amalan dianggap tidak mengurangi iman sebagaimana yang mereka ucapkan (Murji`ah).
Oleh sebab itu para imam Islam dahulu dan sekarang telah menjelaskan tentang kebatilan madzhab ini dan memberikan bantahan terhadap pengikutnya. Bahkan mereka membahas perkara ini secara khusus, terutama dalam kitab-kitab aqidah. Mereka juga telah menulis beberapa karangan tersendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dan selain beliau.
Syaikhul Islam di dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah berkata, di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa agama dan iman ini adalah ucapan dan amalan, ucapan hati dan lisan, serta amalan hati dan lisan dan anggota badan. Iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.
Di dalam Kitabul Iman, beliau berkata: “Dari bab inilah pendapat-pendapat ulama Salaf dan imam-imam Sunnah membahas tentang tafsir (pengertian) iman. Terkadang mereka berkata iman adalah ‘ucapan dan amalan’, terkadang mereka berkata iman adalah ‘ucapan amalan dan niat’; terkadang mereka berkata ‘ucapan, amalan, niat, dan mengikuti As-Sunnah’; terkadang mereka mengatakan ‘ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan.’ Semua itu benar adanya.”
Beliau rahimahullahu berkata: “Kaum Salaf sangat keras dalam mengingkari Murji`ah tatkala mereka mengeluarkan amalan dari iman. Tidak diragukan bahwa ucapan mereka dalam menyamakan iman manusia termasuk kesalahan yang paling keji. Bahkan manusia tidak akan sama derajatnya dalam at-tashdiq (pembenaran), tidak pula dalam hal cinta, khasyah, maupun ilmu. Bahkan yang ada ialah terjadinya perbedaan dalam keutamaan ditinjau dari berbagai sisi.”
Beliau rahimahullahu berkata: “Sungguh Murji`ah telah menyimpang dalam prinsip ini dari penjelasan Al-Kitab, As-Sunnah, ucapan para sahabat dan tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka hanya bersandar kepada ra`yu (akal pemikiran) mereka dan apa-apa yang mereka takwilkan berdasarkan pemahaman apa yang mereka tafsirkan dari sisi bahasa. Ini merupakan jalan ahlul bid’ah.” Selesai (ucapan beliau).
Di antara dalil yang menyebutkan bahwa amalan termasuk hakikat iman, dan bahwa iman itu bertambah dan berkurang adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Anfal ayat 2-4:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan mereka hanya bertawakal kepada Rabbnya. Mereka itulah orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki-rizki yang Kami berikan. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenarnya.”
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Mukminun ayat 1-9:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ
“Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Orang-orang yang menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna. Orang-orang yang menunaikan zakat. Orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang selain itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat yang dipikulnya dan janjinya, serta orang-orang yang memelihara shalatnya.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، أَعْلاَهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Iman itu ada 70 lebih cabang, yang paling tinggi adalah ucapan La ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang iman.”
Syaikhul Islam rahimahullahu juga berkata di dalam Kitabul Iman: “Dasar keimanan itu ada di dalam hati yaitu ucapan hati dan amalannya, yaitu pernyataan pembenaran, cinta, dan ketundukan. Apa yang ada dalam hati pasti akan nampak konsekuensinya pada anggota badan. Jika ia tidak mengamalkan konsekuensinya berarti menunjukkan tidak adanya iman tersebut atau kelemahannya. Oleh karena itu, amalan-amalan lahiriah merupakan konsekuensi keimanan hati. Dia merupakan pembenaran terhadap apa yang ada dalam hati dan sebagai bukti serta saksi atas keimanan tersebut. Dia merupakan cabang dan bagian dari keimanan yang mutlak.”
Beliau juga berkata: “Bahkan setiap orang yang memerhatikan ucapan Khawarij dan Murji`ah tentang makna iman, pasti ia akan mengetahui bahwa ucapan tersebut menyelisihi Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia juga akan mengetahui dengan pasti pula bahwa menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya merupakan kesempurnaan iman, dan tidaklah setiap pelaku dosa dihukumi kafir. Dia juga akan tahu seandainya ditaqdirkan ada suatu kaum yang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Kami beriman kepada semua yang engkau bawa dengan hati kami tanpa ada keraguan. Kami mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisan kami. Hanya saja kami tidak akan menaatimu dalam perkara apapun, baik yang engkau perintahkan atau yang engkau larang. Kami tidak akan shalat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan amanah, memenuhi janji, menyambung tali persaudaraan. Kami tidak akan melakukan sesuatupun dari kebaikan yang engkau perintahkan. Kami akan minum khamr, menikahi mahram-mahram kami dengan zina yang nyata, membunuh sahabat dan umatmu semampu kami. Dan kami akan merampas harta mereka, bahkan kami juga akan membunuh dan memerangimu bersama musuh-musuhmu.”
Apakah akan terbayang oleh seorang yang berakal bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka: “Kalian adalah orang-orang yang beriman dengan keimanan sempurna. Kalian berhak mendapatkan syafaatku pada hari kiamat dan diharapkan tidak ada seorang pun dari kalian yang masuk an-naar (neraka)”?!
Bahkan setiap muslim pasti akan mengetahui bahwa beliau akan berkata kepada mereka: “Kalian adalah manusia yang paling mengingkari ajaran yang aku bawa.” Beliau akan memenggal leher mereka (membunuh) jika mereka tidak bertaubat dari hal tersebut.” Selesai ucapan beliau.
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Lafadz iman jika disebutkan secara mutlak di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah maksudnya adalah sama dengan maksud lafadz al-bir, at-taqwa, ad-dien sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman itu ada 70 lebih cabang. Yang paling utama adalah Laa ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Maka setiap perkara yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala masuk di dalam nama iman. Begitu pula lafadz al-bir, masuk di dalamnya semua perkara itu tadi, jika disebutkan secara mutlak. Demikian pula lafadz at-taqwa, ad-dien, atau dienul Islam. Demikian pula telah diriwayatkan bahwa mereka (para sahabat) bertanya tentang iman, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوْهَكُمْ
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan….”
Hingga Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Yang dimaksud di sini, pujian itu tidak akan ditetapkan kecuali terhadap iman yang disertai amal, bukan iman yang terlepas dari amal.”
Inilah ucapan Syaikhul Islam tentang iman dan barangsiapa yang menukil dari beliau selain itu maka ia telah berdusta atas namanya. Adapun yang terdapat dalam sebuah hadits, bahwa suatu kaum masuk ke dalam Jannah padahal mereka belum pernah melakukan kebaikan sama sekali, hadits itu tidaklah berlaku secara umum kepada setiap orang yang meninggalkan amalan, padahal ia mampu mengerjakannya.
Hadits ini khusus bagi mereka disebabkan adanya sebuah udzur, yaitu terhalangnya mereka dari beramal atau makna-makna lain yang sesuai dengan nash-nash yang muhkamat (yang jelas maksudnya) dan yang disepakati oleh salafus shalih dalam permasalahan ini. Inilah (jawaban kami).
Bila masalah itu sudah sangat jelas, maka Al-Lajnah Ad-Da`imah melarang dan memperingatkan dari perdebatan dalam ushul aqidah. Karena hal itu dapat mengakibatkan bencana yang besar. Al-Lajnah mewasiatkan agar merujuk kepada kitab-kitab salafus shalih dan para pemimpin agama, yang mana berlandaskan kepada Al-Qur`an, As-Sunnah dan ucapan-ucapan salaf.
Al-Lajnah juga memperingatkan dari merujuk kepada kitab-kitab yang menyelisihi hal di atas dan kitab-kitab baru yang muncul dari orang-orang muta’alimin (mengaku sebagai ulama) yang tidak mengambil ilmu dari ahlinya dan sumber-sumber ahlinya. Mereka telah berani berbicara dalam hal prinsip yang agung dari sekian prinsip-prinsip aqidah ini. Mereka membangun madzhab Murji`ah dan menisbahkannya dengan penisbahan yang penuh kezaliman kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mengkaburkan perkara tersebut kepada manusia. Mereka memperkuat pendapatnya dengan menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan imam-imam Salaf yang lain dengan nukilan yang terputus (sepenggal-sepenggal) dan dengan ucapan-ucapan yang mutasyabih (yang tidak jelas), tanpa mengembalikannya kepada ucapan-ucapan mereka yang muhkam (yang jelas).
Al-Lajnah menasihati mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas diri mereka, sadar kembali dan tidak mencabik-cabik persatuan dengan menyebarkan madzhab yang sesat ini. Juga mengingatkan agar kaum muslimin jangan sampai tertipu dan terjerumus, dengan ikut serta masuk ke dalam kelompok yang menyelisihi pijakan jamaah kaum muslimin Ahlus Sunnah wa Jamaah. Semoga Allah k memberi taufiq kepada semuanya menuju ilmu yang bermanfaat, amal shalih, dan pemahaman di dalam agama. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga serta sahabat beliau seluruhnya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil Ilmiah wal Ifta`.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh.
Anggota: Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudyan, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Bakr bin Abdillah Abu Zaid. (lihat Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 64-68)
Wallahu a‘lam bish-shawab.

1 Sebuah kalimat yang diucapkan oleh orang Arab secara dzahir makna, namun tidak dikehendaki terjadinya. Kalimat ini merupakan bentuk pengajaran dan pengingat dari sebuah kelalaian dan kekaguman, serta pengagungan terhadap suatu perkara. (pent.)
http://asysyariah.com/images/logo.gif

Permisalan Istri yang Buruk dalam Al-Qur`an
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Sakinah, Mengayuh Biduk, 30 - Januari - 2006, 23:21:09

Di akhirat kelak, setiap manusia akan menuai apa yang ia tanam di dunia. Begitu juga seorang istri. Ia akan menerima balasan sesuai dengan amalannya di dunia. Sebagus apapun suaminya, itu tidak akan memperingannya dari adzab Allah k.

Setiap muslimah tentu mendambakan dirinya dapat menjadi istri yang baik, istri yang shalihah, yang dipuji sebagai sebaik-baik perhiasan dunia oleh Ar-Rasul
n:

اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”1
Sehingga, seorang muslimah dituntut untuk senantiasa bersungguh-sungguh menjaga dirinya agar tidak terpuruk dalam kejelekan dan keburukan yang berakibat kehinaan bagi dirinya. Karenanya, ia semestinya berusaha mengambil ibrah (pelajaran) dari peristiwa atau kisah yang ada, baik yang telah lampau maupun yang belakangan. I‘tibar (mengambil pelajaran) seperti ini merupakan tuntunan dari Rabbul ‘Izzah, Allah
k, sebagaimana firman-Nya:

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي اْلأَبْصَارِ

“Maka ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Al-Hasyr: 2)
Di dalam Al-Qur`an yang mulia, Allah
k banyak membuat permisalan/ perumpamaan untuk hamba-hamba-Nya, agar mereka mau merenungkan dan memikirkannya.

وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.” (Al-Hasyr: 21)
Di antaranya, gambaran istri yang buruk disebutkan dalam ayat berikut ini:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَأَةَ نُوْحٍ وَامْرَأَةَ لُوْطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا الصَّالِحِيْنَ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا وَقِيْلَ ادْخُلاَ النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ

“Allah membuat istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah ikatan pernikahan dengan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat2 kepada kedua suami mereka, maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah, dan dikatakan kepada keduanya: ‘Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka’.” (At-Tahrim: 10)

Istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth Termasuk Orang-orang Kafir
Nabi Nuh
p dan Nabi Luth p merupakan dua insan yang Allah k pilih untuk menerima risalah dan menyampaikannya kepada kaum mereka. Kedua rasul yang mulia ini pun mengemban risalah dengan sebaik-baiknya, mengajak kaum mereka yang durhaka agar kembali kepada Allah k dengan mentauhidkan-Nya dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya.
Namun dengan ke-mahaadilan-Nya, Allah
k menakdirkan istri kedua nabi yang mulia ini justru tidak menerima dakwah suami mereka. Padahal keduanya adalah teman kala siang dan malam, yang mendampingi ketika makan dan tidur, selalu menyertai dan menemani. Kedua istri ini mengkhianati suami mereka dalam perkara agama, karena keduanya beragama dengan selain agama yang diserukan oleh suami mereka. Keduanya enggan menerima ajakan kepada keimanan bahkan tidak membenarkan risalah yang dibawa suami mereka.3
Disebutkan oleh Ibnu Abbas
c bahwa istri Nabi Nuh berkata kepada orang-orang: “Nuh itu gila”. Bila ada seseorang yang beriman kepada Nabi Nuh p, ia pun mengabarkannya kepada kaumnya yang dzalim lagi melampaui batas4. Sementara istri Nabi Luth p mengabarkan kedatangan tamu Nabi Luth p kepada kaumnya5, padahal Nabi Luth p merahasiakan kedatangan tamunya karena khawatir diganggu oleh kaumnya6.
Inilah pengkhianatan mereka kepada suami mereka. Hubungan mereka berdua dengan suami yang shalih dan kedekatan mereka tidak bermanfaat sama sekali disebabkan kekufuran mereka7. Sehingga kelak di hari akhirat dikatakan kepada kedua istri tersebut: “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka.”

Kedekatan Suami-Istri tanpa Disertai Keimanan Tidaklah Bermanfaat di Sisi Allah
k Kelak
Asy-Syaikh ‘Athiyyah Salim menyatakan: “Dalam firman Allah
k:

فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا

“Maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah.”
(Dalam ayat ini) ada penjelasan bahwa pertalian suami istri tidak bermanfaat sama sekali dengan adanya kekufuran dari salah satu pihak. Allah
k telah menerangkan apa yang lebih penting daripada hal itu pada seluruh hubungan kekerabatan, seperti firman-Nya:

يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ

“Pada hari di mana tidak bermanfaat harta dan anak-anak.”
Dan firman-Nya:

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ. وَأُمِّهِ وَأَبِيْهِ. وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيْهِ

“Pada hari di mana seseorang lari dari saudaranya, dari ibunya dan bapaknya, dari istrinya dan anak-anaknya.”
Allah
k menjadikan dua wanita ini sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir, dan ini mencakup seluruh kerabat sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Aku pernah mendengar Asy-Syaikh (yakni Asy-Syinqithi) –semoga Allah
k merahmati kami dan beliau– dalam muhadharah (ceramah)nya pernah membahas permasalahan ini. Beliau pun menyebutkan kisah dua wanita tersebut, demikian pula kisah Nabi Ibrahim p bersama ayahnya, juga Nabi Nuh p bersama anaknya. Maka sempurnalah seluruh sisi kekerabatan: ada istri bersama suaminya, anak bersama bapaknya, dan bapak bersama anaknya. Beliau juga menyebutkan hadits Rasulullah n:

يَا فَاطِمَةُ اعْمَلِي فَإِنِّي لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا

“Wahai Fathimah (bintu Rasulullah), beramallah engkau karena aku tidak bisa mencukupimu (menolongmu) dari Allah sedikitpun.”
Kemudian beliau berkata: “Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memberikan kemanfaatan kepada orang lain pada hari kiamat kelak, walaupun kerabat yang paling dekat, kecuali dengan perantara keimanan pada Allah dan dengan syafaat yang diizinkan-Nya kepada hamba yang dimuliakan-Nya, sebagaimana dalam firman Allah
k:

وَالَّذِيْنَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَتَهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَتَهُمْ

“Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak-anak turunan mereka dalam keimanan, maka akan Kami gabungkan mereka itu dengan anak-anak turunan mereka.” (Tatimmah Adhwa`il Bayan, 8/382)
Al-Imam Ibnul Qayyim
v berkata: “Ayat-ayat ini mengandung tiga permisalan, satu untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin8. Kandungan permisalan untuk orang-orang kafir yaitu bahwa orang kafir akan disiksa karena kekufuran dan permusuhannya terhadap Allah k, rasul-Nya, dan para wali-Nya. Dengan kekufurannya tersebut, hubungan nasab tidak bermanfaat baginya, juga periparan (kekerabatan karena pernikahan) atau hubungan lainnya di antara sekian hubungan dengan kaum mukminin. Karena seluruh hubungan itu akan terputus pada hari kiamat, kecuali pertalian yang bersambung dengan Allah k saja lewat bimbingan tangan para rasul. Seandainya hubungan kekerabatan, periparan atau pernikahan itu bemanfaat walau tanpa disertai keimanan, niscaya hubungan Nuh dengan istrinya dan Luth dengan istrinya akan bermanfaat. Namun ternyata keduanya tidak dapat menolong istri mereka dari adzab Allah k sedikit pun. Bahkan dikatakan kepada istri-istri mereka: “Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk”. Ayat ini memutus keinginan dan harapan orang yang berbuat maksiat kepada Allah k dan menyelisihi perintah-Nya untuk mendapat kemanfaatan dari kebaikan orang lain, baik dari kalangan kerabatnya atau orang asing, sekalipun ketika di dunia hubungan antara keduanya sangatlah erat. Tidak ada hubungan yang paling dekat daripada hubungan ayah, anak dan suami istri. Namun lihatlah Nabi Nuh p tidak dapat menolong anaknya, Nabi Ibrahim p tidak dapat menolong ayahnya, Nabi Nuh dan Luth i tidak dapat menolong istrinya dari adzab Allah k sedikit pun. Allah k berfirman:

لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ

“Karib kerabat dan anak-anak kalian sekali-kali tidak akan bermanfaat bagi kalian pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kalian.” (Al-Mumtahanah: 3)

يَوْمَ لاَ تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا

“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain.”(Al-Infithar: 19)

وَاتَّقُوا يَوْمًا لاَ تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا

“Dan jagalah diri kalian dari adzab hari kiamat, yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun.” (Al-Baqarah: 123)

وَاخْشَوا يَوْمًا لاَ يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا

“Takutlah kalian dengan suatu hari yang pada hari itu seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.” (Luqman: 33) [I‘lamul Muwaqqi‘in 1/188, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasin At-Ta`wil, 9/183-184]

Pelajaran yang Bisa Dipetik
 Hubungan dan kedekatan seorang istri dengan suami yang shalih,
q berilmu dan berakhlak mulia, tidak bermanfaat sama sekali di hadapan Allah k kelak, bila si istri tetap berkubang dalam kejelekan dan dosa.
 Adzab Allah
q k hanya bisa dihindari dengan ketaatan bukan dengan wasilah (perantara), sehingga seorang istri yang durhaka namun ia memiliki suami yang shalih tidak akan bisa menghindar dari adzab Allah k dengan perantara kedekatannya dengan sang suami.
 Dengan adanya perintah agar istri Nuh dan istri Luth masuk ke dalam neraka , Allah
q k hendak memutus harapan setiap orang yang berbuat maksiat dari mendapatkan kemanfaatan dari keshalihan orang lain.
 Seorang istri tidak sepantasnya berkhianat kepada suaminya dalam
q kehormatan maupun dalam agamanya. Bahkan ia harus menyepakati suaminya dalam kebaikan dan ketaatan. Terlebih bila suaminya adalah seorang da‘i, dia mestinya menjadi orang pertama yang mengikuti dakwah suami dan mendukung dakwahnya, sebagaimana yang dilakukan Khadijah x dengan suaminya yang mulia, Rasulullah n.
 Masing-masing orang harus beramal agar selamat di akhiratnya karena mendapatkan rahmat Allah
q k dan tidak mengandalkan amal orang lain. Termasuk pula seorang istri, ia harus bertakwa kepada Allah k, menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Janganlah ia tertipu dengan keberadaan suaminya, bagaimanapun keshalihannya, keilmuannya yang tinggi dan kedudukannya yang mulia dalam agama, di hadapan mad‘u-nya dan masyarakatnya. Jangan ia merasa cukup dengan bersuamikan seorang ustadz atau seorang syaikh sekalipun, lalu ia merasa aman, merasa pasti masuk surga karena kedudukan suaminya. Sehingga ia pun duduk berpangku tangan enggan untuk belajar agama Allah k guna menghilangkan kejahilannya, dan malas pula beramal shalih9. Kita katakan pada orang seperti ini: Ambillah pelajaran wahai ukhti dari kisah istri dua nabi yang mulia, Nuh dan Luth i.Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 HR. Muslim no. 1467, kitab Ar-Radha’ bab Khairu Mata’id Dunya Al-Mar`atush Shalihah
2 Berkhianat di sini bukan maksudnya mereka berdua menyeleweng/selingkuh dengan lelaki lain yang bukan suami mereka dengan melakukan zina atau perbuatan fahisyah/keji lainnya. Karena para istri nabi terjaga dari berbuat fahisyah disebabkan kehormatan/ kemuliaan para nabi tersebut. Dengan demikian Allah
k tidak mungkin memasangkan nabinya dengan seorang istri yang suka melacurkan diri (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 874, Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1423). Para mufassirin sepakat, tidak ada seorang pun dari istri nabi yang berzina (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi, 18/131, Fathul Qadir 5/305)
3 Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1423, Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874
4 Ma‘alimut Tanzil/ Tafsir Al-Baghawi 4/338, Ahkamul Qur’an, Al-Jashshash, 4/624
5 Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya no. 34461, 34462
6 Karena kaum Nabi Luth
p punya kebiasaan keji, mereka senang melakukan hubungan dengan sesama jenis (homoseksual). Bila melihat seorang lelaki yang tampan, mereka sangat bernafsu untuk mengumbar syahwat binatang mereka. Nabi Luth p pernah kedatangan tamu yang terdiri dari para malaikat dengan rupa lelaki yang rupawan. Allah k kisahkan dalam Al-Qur`an:

وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوْطًا سِيْءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيْبٌ. وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُوْنَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُوْنَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَاقَوْمِ هَؤُلاَءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللهَ وَلاَ تُخْزُوْنِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيْدٌ. قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيْدُ. قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيْدٍ قَالُوا يَالُوْطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلاَ يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلاَّ امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيْبُهَا مَا أَصَابَهُمْ...

“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, ia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan ia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit”. Akhirnya datanglah kaumnya kepadanya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Wahai kaumku, inilah putri-putriku (nikahi mereka para wanita, –pent.) mereka lebih suci bagi kalian, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian mencemarkan namaku di hadapan tamuku ini. Tidak adakah di antara kalian seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sungguh kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”. Luth berkata: “Seandainya aku memiliki kekuatan untuk menghadapi kalian atau jika aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat tentu akan aku lakukan”. Para utusan itu berkata: “Wahai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggumu. Karena itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam, jangan ada seorang pun di antara kalian yang tertinggal (jangan menoleh ke belakang), kecuali istrimu, sungguh dia akan ditimpa adzab seperti yang menimpa mereka…” (Hud: 77-78)
7 Tafsir Abdurrazzaq Ash-Shan‘ani 3/324, Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir At-Thabari, 12/160-161, Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874, Adhwa`ul Bayan 8/381
8 Seperti disebutkan dalam kelanjutan ayat di atas (At-Tahrim: 11-12):

وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ. وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيْهِ مِنْ رُوْحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِيْنَ

“Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berdoa: ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam jannah (surga), dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.’ Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian ruh (ciptaan) Kami, dan Maryam membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya. Adalah dia termasuk orang-orang yang taat.”
9 Namun bagaimana ia bisa beramal dengan benar dan tepat bila tidak belajar? Bukankah al ilmu qablal qauli wal ‘amali (ilmu itu sebelum berucap dan beramal), seperti ucapan Al-Imam Al-Bukhari ketika memberi judul bab (tarjumah) dalam Shahihnya, (kitab Al ‘Ilm).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar